SP3 Kasus Diskriminasi Anak, Orangtua Korban Praperadilankan Penyidik Polda NTT

21 April 2022, 08:35 WIB
Daud Jella Bing didampingi istrinya Rubiyati O. Jella Bing saat mengurai kronologi kasus diskriminasi yang dialami anaknya /Tommy Aquino/Warta Sasando/

WARTA SASANDO - Pasangan suami istri Daud Jella Bing dan Rubiyati O. Jella Bing mempraperadilankan penyidik Polda NTT karena menghentikan penyidikan perkara diskriminasi anak.

Warga Kelurahan Naikolan Kecamatan Maulafa Kota Kupang itu terus berjuang karena mereka yakin anaknya menjadi korban diskriminasi oleh pihak sekolah (SDN Naikoten 2) pada 2017 lalu.

Bersama kuasa hukum dari LBH Surya NTT, Daud dan Rubiyati telah mendaftarkan perkara pidana praperadilan di Pengadilan Negeri Kupang, Selasa 5 April 2022 lalu.

Lewat jalur praperadilan, Daud dan Rubiyati memohon kepada hakim tunggal agar Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan Perkara Diskriminasi Anak Nomor : B/1227/VI/2021/ Ditreskrimum Polda NTT tentang Penghentian Penyidikan, tertanggal 22 Juni 2020 dinyatakan batal dan atau tidak sah.

Baca Juga: KPK Iimbau Pejabat Tidak Gunakan Fasilitas Dinas untuk Kepentingan Pribadi

Pemohon Praperadilan juga memohon hakim agar menyatakan sah dan berharga laporan polisi nomor: LP/B/59/IV/2018/Sektor Maulafa tanggal 24 April 2018. Sebab laporan tersebut ada peristiwa pidana.

Sesuai jadwal persidangan, Rabu 20 April 2022 kemarin, Pemohon Praperadilan menyampaikan replik atau tanggapan atas jawaban penyidik Polda NTT selaku Termohon Praperadilan.

Kepada wartawan di Kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi NTT, Daud Jella Bing bersama istrinya Rubiyati Jella Bing mengurai kronologi kasus diskriminasi yang menimpa anaknya, BJB. Saat kejadian, BJB duduk di bangku kelas IV dan berusia 9 tahun.

Baca Juga: BPIP Sebut Ende Telah Siap Sambut Presiden Jokowi, tapi Perlu Benahi Sarpas

Daud mengatakan, pada 13 November 2017, anaknya BJB dipukul oleh seorang guru (Amina). Kasus ini kemudian dilaporkan ke Polsek Maulafa dan korban divisum.

"Kami tempuh jalur hukum karena ini tindakan kekerasan yang ketiga kalinya dialami anak kami," kata Daud di hadapan Koordinator P2TP2A Provinsi NTT Elly M. Adonis dan Sekretaris S.B.Latuperissa.

Pada 14 November 2017, kata Daud, Kepala SDN Naikoten 2 bersama guru yang memukul anaknya datang ke rumah dan meminta orangtua korban untuk mencabut laporan polisi.

Setelah itu datang pengawas sekolah, utusan dari Dinas PPO Kota Kupang dengan tujuan yang sama.

Baca Juga: Kasus Korupsi Proyek Puskemas Inbate, Kadis Kesehatan TTU Dituntut 2 Tahun Penjara

"Kami tidak cabut laporan karena kasus penganiayaan ketiga ini paling parah. Mata kiri bekas operasi yang sementara dalam perawatan lanjutan akhirnya gagal dan anak kami buta total sampai saat ini," sebut Daud

Lantaran laporan polisi tidak dicabut, pada 25 November 2022 pihak sekolah merumahkan BJB serta dua saudaranya, IJB (kelas VI) dan GJB (Kelas I).

Daud mengaku berbagai upaya yang dilakukan agar ketiga anaknya dapat bersekolah kembali, tidak membuahkan hasil. Kadis PPO Kota Kupang saat itu Filmon Lulupoy juga menyarankan hal yang sama yakni cabut laporan polisi.

Mediasi oleh DPRD Kota Kupang juga gagal. Bahkan memo dari Wakil Wali Kota Kupang Hermanus Man yang isinya agar anak-anak kembali masuk sekolah, juga tidak direspon.

Baca Juga: Cegah Kanker Serviks di Indonesia, Menkes: Vaksinasi Diberikan Gratis

"Salah satu anak kami (IJB) sempat dipanggil untuk ikut ujian try out dari tanggal 22-24 Januari 2018. Setelah itu dirumahkan kembali," katanya.

Selanjutnya pada 24 April 2018, Daud melaporkan kasus diskriminasi anak ke Polsek Maulafa. Ironisnya, penyidik Polsek Maulafa justru meminta orangtua korban untuk mencabut laporan.

Ironisnya lagi, lanjut Daud, pasal yang diterapkan dalam perkara diskriminasi anak yakni Pasal 77 huruf a UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku aborsi terhadap anak.

Permintaan untuk cabut laporan polisi kemudian ditolak orangtua korban hingga akhirnya penyidik Polsek Maulafa melimpahkan berkas perkara diskriminasi anak kepada Direskrimum Polda NTT sesuai surat Nomor: B/2016/IX/2020 tanggal 10 September 2020.

Baca Juga: Presiden Jokowi Direncanakan Berkunjung Ke Ende, Tim BPIP Lakukan Survei

Pada 10 November 2020, kasus ini digelar di Reskrimum Polda NTT dengan tetap menerapkan Pasal 77 huruf a UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 dan Pasal 9 ayat 1 UU Perlindungan Anak dihilangkan dalam BAP.

Pada akhirnya, di tanggal 17 Mei 2021, orangtua korban mendapat surat dari Direskrimum Polda NTT tentang pemberitahuan hasil penyidikan.

Adapun pemberitahuan dalam SP2HP disebutkan bahwa berdasarkan hasil gelar perkara tanggal 13 April 2021, direkomendasikan proses penyidikan perkara diskriminasi anak dihentikan karena tidak cukup bukti.

Baca Juga: Pemasyarakatan Peduli UMKM, Lapas Ende Beri Bantuan Gerobak Usaha bagi Pedagang

Tidak puas dengan proses yang ditangani polisi, pada 10 Juni 2021 orangtua korban bersama kuasa hukum bertemu dengan beberapa jaksa di Kejati NTT.

"Kepada kami, jaksa mengatakan berkas perkara tidak pernah dinaikkan oleh penyidik Reskrimum Polda NTT. SP3 kasus ini juga menjadi tanda tanya pihak Kejati NTT," ungkap Daud Jella Bing.***

Editor: Tommy Aquino

Tags

Terkini

Terpopuler