FANTASI OLIGARKI RUNTUHKAN DEMOKRASI (Catatan sekitar polemik Presiden 3 periode)

- 26 Februari 2022, 19:53 WIB
Justin Djogo, MA.,MBA, Direktur Eksekutuf Forum Dialog  Nusantara/FDN
Justin Djogo, MA.,MBA, Direktur Eksekutuf Forum Dialog Nusantara/FDN /Dok.pribadi/
 
Oleh Justin Djogo, MA.,MBA, Direktur Eksekutif Forum Dialog 
Nusantara/FDN
 
 
Awal tahun 2022 ini, masyarakat Indonesia resmi mendengarkan 
keputusan tentang jadwal pemilu Pilpres dan Pileg yang digelar serentak tanggal 14 Februari 2024 . Sedangkan pilkada memilih Gubernur, Bupati dan Walikota diselenggarakan pada 27 november 2024.
 
Keputusan ini diambil berdasarkan rapat kerja Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri RI, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu 
(Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di gedung DPR Senayan 24 Januari 2022.
 
Belum satu bulan setelah keputusan ini diekspos ke masyarakat luas, tiba- tiba setidaknya dua pimpinan parpol mendengungkan jabatan presiden menjadi tiga periode. Publik termasuk segelintir politisi berpikiran jernih tentu saja 
terperangah dan bahkan akan menelan pil pahit. 
 
Bukankan kita tak belajar dari riwayat nan kelam lebih dari 35 tahun Orde Baru berkuasa?, Seolah-olah kita berhasil membangun fisik bangsa ini, namun sudah menerkam kemerdekaan dan memasung kebebasan berpendapat, hak mengeritik pemerintah selama itu . Dan untung saja mahasiswa berhasil 
merangsek ke Gedung wakil rakyat dan menutut Rejim Orde baru 
meletakan jabatannya.
 
 
Kita bersyukur, Presiden ke- 3 RI BJ Habibie, menabur benih demokrasi dalam situasi porak poranda secara ekonomi karena badai krisis ekonomi melanda dunia , termasuk Indonesia. 
 
Presiden berikutnya mulai dari Gus Dur, Bu Megawati, Pak SBY dan tentu saja pak Jokowi sudah merawat demokrasi yang sudah ditaburkan pak BJ Habibie sejak era Reformasi. Lalu mengapa tiba-tiba indikasi kuat munculnya oligarki politik di periode kedua pak Jokowi?
 
Sejarah awal reformasi membuktikan bahwa, badai krisis ekonomi dapat dilalui pelan tapi pasti dalam pergantian rejim untuk memulihkan harkat, martabat dan rakyat Indonesia merasakan kebebasan dan kemerdekaan 
yang tak dinikmatinya selama lebih dari 35 tahun. 
 
Jika demikian, jika salah 
seorang pemimpn parpol yang menjadikan argumen ‘nyungsepnya’ perekonomian Indonesia saat ini karena pandemic Covid19 sebagai 
alasan memperpanjang jabatan presiden 3 periode adalah tidak masuk akal.
 
 
Bukankah pak BJ Habibie mampu menurunkan kurs rupiah yang tak 
dapat dikendalikan Pak Harto? Dan ekonomi kita bangkit perlahan dari 
krisis politik dan krisis ekonomi global.
 
Jika ada alasan politis perpanjangan jabatan presiden 3 periode yang mengatasnamakan 
keinginan rakyat, ini benar-benar patut dipertanyakan dan tidak logis.
 
Bukankah para wakil rakyat dari parpol yang pemimpinnya tiba-tiba 
menyodorkan gagasan presiden 3 periode itu turut hadir dalam rapat 
Komisi 2 DPR RI tanggal 24 Januari 2022 lalu yang secara tegas 
menyetujui perubahan jadwal pemilu pilpres, pileg dan pilkada di tahun  2024 kelak. 
 
Publik bukan saja merasa dikhianati tetapi merasa iba 
dengan tabiat para wakil rakyatnya yang hanya dalam kurun waktu 1 
bulan, bertindak seperti anak kemarin sore belajar tentang demokrasi.
 
Demokrasi dengan argument atas nama rakyat ini pun patut 
dipertanyakan. Rakyat sudah mempresentasikan dirinya dalam diri para wakilnya di DPR. Muncul suara sumbang beberapa hari terakhir, jangan sampai para wakil rakyat ini mebentengi diri agar dapat pula memperpanjang jabatannya di Senayan menjadi 3 periode.
 
 
Bukankah ini secara kontraproduktif mengerdilkan peran partai politik yang merupakan 
‘pabrik’ politisi muda yang pada gilirannya menjadi wakil rakyat namun terus menunda cita-citanya hanya karena pemimpin partainya tidak percaya diri dan apalagi ingin berlindung di rejim yang amankan 
posisinya. 
 
Pelan tapi pasti, oligarki akan menciptakan plutokrasi yang 
mengacu pada kebijakan melindungi kekayaan materi para oknum di lingkaran kekuasaan agar mendominasi minoritas lainnya yang dipandang sebagai kompetitor.
 
Oligarki meruntuhkan Demokrasi
Jika situasi memang telah terjadi secara masif seperti ini, dengan aksi koboi dua pemimpin parpol ataupun lainnya yang secara samar-samar dalam lubuk hati yang tidak berani berucap tapi berani berbuat oligarkis 
maka makin kuat pengaruh gerombolan pengkhianat rakyat. Minimal menjilat ludahnya sendiri jika tak ingin dikatakan mengkhianati rakyat. Kata yang tepat adalah oligarki. 
 
Kita pasti paham arti oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif 
dikendalikan oleh sekelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibesakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer.
 
Istilah ini berasal dari kata 
Yunani untuk mengartikan ‘ sedikit’ dan ‘memerintah’.Bagaimana 
mungkin, keputusan yang sudah disepakati bersama dilanggar begitu saja hanya karena keinginan sedikit orang yang ingin terus memerintah.
 
 
Bangsa sebesar ini yang bahkan mendapat kepercayaan sebagai pemimpin G20, sepertinya berjalan mundur secara politik. Jika kita sudah mendapat kepercayaan sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang hebat diantara 20 negara’ terhebat’ sejagat ini, mengapa kita kecut 
atau bahkan tidak berani menghadapi badai ekonomi, misalkan akan 
terjadi setelah presiden Jokowi lengser keprabon 2024 dan mega proyek  IKN belum rampung.
 
Setiap pemimpin pasti punya cara sendiri menyelamatkan bangsanya. Indonesia adalah negara yang hebat dan memiliki banyak pemimpin hebat. 
 
BJ Habibie meneruskan tongkat estafet kepemimpinan Soeharto 21 Mei 1998. Kecemerlangan BJ Habibie membongkar cengkraman oligarki politik dan kekuasaan ala Orde Baru pelan tapi pasti memberi dampak sangat berarti. 
 
Tahanan politik dibebaskan, media massa tumbuh subur tanpa berpura-pura mengekspresikan karya jurnalistik mengeritik 
pemerintah , seperti menguak sisa-sisa KKN era Orde Baru. BJ Habibie sebagai salah satu tokoh harapan Pak Harto di masa depan, benar-benar bertindak dengan gayanya sendiri sebagai teknokrat, bukan sebagai politisi sejati menumpas oligarki politik. 
 
Mengapa belum apa-apa sudah 
muncul lagi oligarki politik di era pasca reformasi ini.Warna baru bagi demokrasi di Indonesia dapat kita saksikan dalam kontestasi pemilu pertama 7 Juni 1999 di Era Reformasi. Berdasarkan UU
No.2 Tahun 1999 tentang Partai Politik maka parpol peserta pemilu 
berjumlah 48 parpol.
 
 
Parpol adalah wadah dan candra dimuka bagi regenerasi kepemimpinan nasional. Parpol tak boleh mandul dan apalagi tercemar oleh bias dan racun kekuasaan yang sudah menyelinap dalam 
hati dan pikiran para pemimpinnya. 
 
Oligarki politik tak boleh bergerak 
bebas tanpa ada kekuatan yang meredam nafsu kekuasaan eksklusifnya. Siapa lagi kalau bukan rakyat dan atau para wakil rakyat yang berpikir cerdas dan berhati nurani bersih untuk mengedepankan kepentingan 
rakyat Indonesia, bukan segelintir makelar kekuasaan.
 
Jika oligarki politik menguasai dapur kekuasan Istana Presiden maka dengan sendirinya tubuh demokrasi kita akan penuh bisul dan kepayahan bernafas.
Kita tak perlu mencari muka dan membebankan semua ke pundak Pak Jokowi karena beliau sendiri sudah berulang kali menolak jabatan 3 periode.
 
Seperti yang telah disampaikan oleh juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman pada tanggal 11 September 2021.Dia   menyatakan sangat jelas bahwa pak Jokowi tanggal 15 maret 2021 MENOLAK jabatan presiden 3 periode atau 
MENAMBAH/MEMPERPANJANG masa jabatan presiden.***
 
. (Justino Djogo, MA.,MBA, Direktur Eksekutif FDN)

Editor: Alex Raja S


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x