“Semua kekejaman berasal dari kelemahan”
(Seneca, ahli pidato Romawi, 55 SM – 39 M).
Tak Ribut berarti Tak Ramai
Entah bagaimana sebenarnya hikayat ciri suporter hooligan itu. Tetapi intinya, ada warna teroristik yang sering terjadi. Sudah ter-mitos untuk setiap pertandingan di premier league, Inggris. Atau saat tim-tim Inggris harus ‘berperang’ versus tim-tim luar.
Sepakbola, nyatanya, bukan hanya perkara riuh gempitanya isi stadion. Bukan pula sebatas decak kagum akan esentriknya para pemain menggocek si kulit bundar. Tak cuma itu. Ada hal lain yang lebih dari itu. Itulah keributan yang semakin tak terkendali. Rusak dan menghancurkan!
‘Liturgisasi’ Sepak Bola
Bila tak salah ingat, ada paragonasi sepakbola ibarat ‘satu ritus liturgis.’ Wasit dan hakim garis adalah ‘selebran dan konselebran merangkap ceremoniarius.’ Para pemain ibarat ‘petugas liturgi.’ Ada lagi para supporter yang tampil sebagai ‘populus Dei’ (umat Allah). Yang tampil berpartisipasi aktif walau sebatas ‘koor nyanyian.’ Dan itu membahana nyaris sepanjang ‘irama liturgis’ pertandingan.
Para pelatih dan asistennya tak ubah bagai ‘ketua dan anggota seksi liturgi.’ Mereka aktif berteriak dan beri instruksi. Agar ‘para petugas liturgi,’ ya para pemainnya itu tertib. Dan tepat pula dalam peran lapangan. Dan lagi, ‘stadion sudah diamini bak gedung gereja.’ Edan memang!