Pembelian MTN Ada Kesalahan Prosedur, Bank NTT Jangan Bodohi Publik Soal Upaya Pemulihan

- 17 November 2021, 12:02 WIB
Kantor Pusat Bank NTT di Jalan W.J.Lalamentik, Kota Kupang.
Kantor Pusat Bank NTT di Jalan W.J.Lalamentik, Kota Kupang. /Tommy Aquino/Warta Sasando/

WARTA SASANDO - Pembelian Medium Term Note (Surat Hutang Jangka Menengah) PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) oleh Bank NTT sebesar Rp50 miliar disorot sejumlah fraksi di DPRD NTT.

Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), investasi yang dilakukan di tahun 2018 tersebut tidak melalui due diligence atau uji tuntas untuk menilai kinerja PT SNP.

Akibatnya, Bank NTT berpotensi mengalami kerugian sebesar Rp50 miliar plus bunga kupon sebesar Rp10,5 miliar lantaran PT SNP sudah pailit.

Dalam tanggapan terhadap pandangan umum fraksi-fraksi, Pemprov NTT dalam hal ini Gubernur menyebut bahwa masalah pembelian MTN Rp50 miliar milik PT SNP telah selesai ditindaklanjuti oleh Bank NTT.

Baca Juga: Menguak Skandal Pembelian MTN Rp 50 Miliar oleh Bank NTT yang Jadi Temuan BPK

Anggota DPRD NTT dari Fraksi PKB Yohanes Rumat menyayangkan jawaban pemerintah yang terkesan menganggap remeh persoalan pembelian MTN. Padahal potensi kerugian daerah dalam kasus ini, nilainya cukup besar yakni Rp50 miliar. Belum termasuk bunga kupon sebesar Rp10,5 miliar.

"Jawaban gubernur tentu berangkat dari jawaban Bank NTT. Jawaban tersebut sangat formalitas," ujar Sekretaris Komisi V itu.

Menurut Yohanes, dalam pembelian MTN, pihak Bank NTT jangan berdalih bahwa mereka ditipu oleh PT SNP. Sebab dalam temuan BPK, jelas-jelas disebutkan bahwa Bank NTT tidak melakukan uji tuntas untuk menilai kinerja PT SNP selaku penerbit MTN.

Bank NTT, lanjut Yohanes, mestinya melakukan BI Checking atau SLIK (Sistim Informasi Laporan Keuangan) sebagai pintu masuk untuk mengetahui kinerja debitur.

Baca Juga: Skandal Pembelian MTN Rp 50 M oleh Bank NTT, Ini Keterangan Alex Riwu Kaho Cs dalam LHP BPK

"Bila di awal pembelian MTN ada uji tuntas atau buat analisis kelayakan, tentu Bank NTT menemukan bahwa saat penawarkan MTN, PT SNP sedang mengalami tunggakan kredit di Bank Mandiri sebesar 1,2 triliun dan tunggakan kredit di 13 bank lainnya.

"Tapi dalam kasus ini, Bank NTT tidak melakukan uji tuntas, padahal itu harus dilakukan sebagai bentuk mitigasi risiko. Maka Bank NTT juga harus bertanggungjawab secara hukum atas segala dampak yang timbul karena kelalaian anda," jelas Yohanes.

Berangkat dari temuan BPK, Yohanes menyebutkan ada kesalahan prosedur sejak awal dalam pembelian MTN. Dan faktanya, pembelian surat berharga MTN tidak masuk dalam rencana bisnis bank.

Baca Juga: Skandal Pembelian MTN oleh Bank NTT, Emi Nomleni Minta Aparat Tindaklanjuti Temuan BPK

Apabila investasi ini ada dalam rencana bisnis bank, kata Yohanes, tentu ada desain perencanaan bisnis yang lebih matang. Yang terjadi malah sebaliknya dan semakin diperparah dengan tidak dilakukannya uji tuntas.

"Baru sebulan lebih beli MTN, perusahaan itu sudah pailit. Ini patut dipertanyakan karena kejahatan berawal dari niat. Kalau sudah ada niat, biasanya ada skenario akuntansi," katanya.

Soal langkah-langkah recovery (pemulihan) dalam rangka penyelamatan atas kerugian, Yohanes dengan tegas mengatakan Bank NTT jangan membodohi pemerintah dan masyarakat dengan jawaban-jawaban yang sifatnya formalitas.

Baca Juga: Lantik Pengurus Baguna PDIP NTT, Ribka Tjiptaning: Bencana Sosial juga Harus Direspon

"Jawaban mereka sederhana, masalah ini sudah diselesaikan dan diurus oleh kurator. Kira-kira kurator mau ambil apa dari PT SNP? Jangan bodohi publik karena jaminan yang diikat antara Bank NTT dan PT SNP tidak dalam bentuk agunan fisik seperti dalam proses kredit. Jaminan itu dalam bentuk fidusia piutang aktif yang terindikasi fiktif," terang Yohanes. 

"Dan faktanya sekarang PT SNP sudah pailit. Apa yang mau diselamatkan? Itulah kenapa proses awal berupa studi kelayakan itu penting karena risiko dari investasi ini cukup besar. Beda dengan penyaluran kredit. Kalau macet, bisa sita agunan dan jual untuk tutup kredit," ungkapnya.***

Editor: Tommy Aquino


Tags

Terkini

x