Menguak Skandal Pembelian MTN Rp 50 Miliar oleh Bank NTT yang Jadi Temuan BPK

25 Oktober 2021, 09:07 WIB
Kantor Pusat Bank NTT /Tommy Aquino/Warta Sasando/

WARTA SASANDO - Dalam pemeriksaan atas pengelolaan Dana Pihak Ketiga (DPK) tahun 2018 dan 2019 pada PT Bank NTT, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) menemukan tiga permasalahan.

Salah satunya adalah mengenai pembelian Medium Term Notes (MTN) atau Surat Hutang Jangka Menengah PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) senilai Rp 50 miliar pada 2018. Temuan ini tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Nomor 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 14 Januari 2020.

Dari hasil pemeriksaan dokumen dan wawancara atas pembelian MTN tersebut, diketahui bahwa pembelian surat berharga MTN tidak masuk dalam rencana bisnis bank PT Bank NTT tahun 2017 ataupun tahun 2018.

Baca Juga: BLT UMKM Rp 1,2 Juta Tidak Bakal Cair untuk Orang dengan 10 Kategori Berikut

Namun PT Bank NTT tetap melakukan pembelian MTN senilai Rp 50 miliar tanpa didahului dengan due diligence atau uji tuntas untuk menilai kinerja penerbit MTN (PT SNP).

Faktanya, berdasarkan konfirmasi BPK kepada Bank Mandiri, diketahui bahwa PT SNP memiliki fasilitas kredit pada Bank Mandiri senilai  Rp 1.408 miliar dengan kolektibilitas 2 (dalam pengawasan khusus). Pada 2 Januari 2018, peformanya terus menurun menjadi kolektibilitas 3 (kurang lancar).

Selain itu PT SNP memiliki fasilitas kredit pada 13 Bank Nasional lain dengan total Baki Debet per 12 Januari 2018 senilai Rp 2.234,99 miliar. Dan pada tanggal 19 Februari 2018, PT SNP menawarkan produk MTN kepada PT Bank NTT yang terindikasi untuk membayar hutang pada bank-bank tersebut.

Baca Juga: Vaksin Covid-19 Aman untuk Ibu Menyusui, Antibodi dalam ASI Lindungi Bayi dari Infeksi

PT Bank NTT melakukan pembelian MTN VI SNP tahap I tahun 2018 seri D dengan coupon rate 10,50 persen, melalui penempatan dana antarbank pada Bank Mandiri tanggal 22 Maret 2018 dengan Nomor surat 170/DTs/III/2018 dan telah dicatat melalui dengan nota debet Nomor 1585/DTs/III/2018 yang ditandatangani oleh Kasubdiv Domestik dan Internasional dan Kasubdiv Treasury Operasional senilai Rp 5 miliar.

Selanjutnya, posisi keuangan PT SNP terus mengalami penurunan. Fasilitas kredit PT SNP pada Bank Mandiri menjadi kredit bermasalah (kolektibilitas 3) pada 1 Mei 2018. Pada 2 Mei  2018, SNP Finance mengajukan permohonan pailit melalui Pengadilan Niaga pada Negeri Jakarta Pusat dan dikabulkan pada 4 Mei 2018.

Setelah dinyatakan pailit, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membekukan kegiatan usaha PT SNP pada 18 Mei 2018. PT SNP dikenakan sanksi peringatan pertama hingga peringatan ketiga karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 53 POJK 29/2014.

Baca Juga: BKN Rilis Jadwal Pengumuman Hasil SKD CPNS 2021 dan Seleksi Kompetensi PPPK

Sanksi pembekuan kegiatan usaha kepada PT SNP kemudian dikeluarkan karena perusahaan tersebut belum menyampaikan keterbukaan informasi kepada seluruh  kreditur dan pemegang MTM sampai dengan berakhirnya batas waktu sanksi peringatan ketiga.

Pada 23 Mei 2018 PT Bank NTT menunjuk advokat dan konsultan hukum pada kantor ANC&Co., advocate & solicitor sesuai dengan surat kuasa Nomor 19/DIR/VI/2018 untuk mewakili dan atau mendampingi dan mengambil tindakan hukum sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana maupun perdata dalam kasus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT SNP.

Sampai dengan penetapan PKPU, PT SNP telah mengajukan rencana perdamaian kepada kreditur melalui surat kepada Majelis Hakim Perkara Nomor 52/Pdt.Sus-PKPU/2018/PNJkt.Pst Jo.10/Pdt.Sus-Pailit/2018/PNJkt. Pst.

Baca Juga: Data Diri Anda Digunakan Pinjol Ilegal, Sikapi dengan 3 Langkah Berikut

Proses Hapus Buku MTN

Sesuai dengan penetapan PKPU atas PT SNP, PT Bank NTT melakukan langkah-langkah untuk meminimalisasi kerugian dalam bentuk penghapusan piutang MTN.

PT Bank NTT melakukan proses hapus buku MTN dengan membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) MTN pada 31 Oktober 2018 senilai Rp 7,62 miliar.

Selanjutnya mengajukan surat persetujuan SOP Hapus Buku Surat Berharga kepada Dewan Komisaris PT Bank NTT dengan surat Direktur Pemasaran Dana nomor 605/DIR-DTs/XII/2018 tanggal 21 Desember 2018 yang disetujui oleh Komisaris Utama melalui surat nomor 134/DKBankNTT/XII/2018 tanggal 26 Desember2018.

Divisi Treasury PT Bank NTT selanjutnya mengusulkan penghapusbukuan MTN PT SNP pada 28 Desember 2018 dengan membentuk CKPN kedua senilai Rp 42.372.533.584 yang disetujui oleh Direksi PT Bank NTT dengan Surat Keputusan nomor 147 Tahun 2018 tanggal 31 Desember 2018 tentang Penghapusbukuan Surat Berharga Tahun Buku 2018 atas MTN PT SNP senilai Rp 50 miliar.

Baca Juga: Kemenkes Salah Transfer, Nakes Diminta Balikkan Kelebihan Uang Insentif

Rekomendasi BPK

Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK RI, pembelian MTN PT SNP berpotensi merugikan PT Bank NTT sebesar Rp 50 miliar dan potensi pendapatan yang hilang atas coupon rate senilai Rp 10,5 miliar.

Terhadap persoalan ini, BPK merekomendasikan kepada Dewan Komisaris dalam RUPS agar meminta jajaran Direksi PT Bank NTT melakukan langkah-langkah recovery atas MTN PT SNP senilai Rp 50 miliar antara lain melakukan koordinasi dengan curator dan melaporkan perkembangan tersebut kepada BPK RI.

BPK juga merekomendasikan kepada Direktur Utama agar memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada Dealer, Kasubdiv Domestik dan International serta Kepala Divisi Treasury yang melakukan pembelian MTN tanpa proses due diligence.

Baca Juga: Anjing Dipukul hingga Mati Demi Wisata Halal di Aceh, Aktivis NU: Halal Kok Pakai Cara Haram

Pejabat Bank NTT Bungkam

Berangkat dari temuan dan rekomendasi BPK, Minggu, 24 Oktober 2021, wartasasando.com berusaha mengkonfirmasi Komisaris Utama Bank NTT Juvenile Jodjana.

Saat pembelian MTN, beliau memang belum menjadi Komut. Namun saat BPK mengeluarkan LHP tahun 2020 beserta rekomendasi untuk Dewan Komisaris Bank NTT, yang bersangkutan telah menjabat sebagai Komut. Juvenil Jodjana sama sekali tidak merespon pertanyaan media ini via WhatsApp.

Direktur Utama Alex Riwu Kaho selaku mantan Kadiv Treasury yang melakukan pembelian MTN, juga tidak merespon pertanyaan media ini.

Begitu juga dengan mantan Direktur Kepatuhan Hilarius Minggu yang kini menjadi Direktur Teknologi Informasi dan Operasional.

Berbeda dengan para pejabat Bank NTT, Kepala OJK Provinsi NTT, Robert Sianipar sempat merespon pertanyaan media ini.

Menurut Robert, setiap transaksi penempatan dana harus dilakukan analisis atau istilah lainnya due diligence. Tujuannya adalah untuk mengetahui rating surat berharga dan juga kondisi perusahaan penerbit surat berharga.

Baca Juga: Daftar Online Penerima Bansos PKH Cukup dengan HP, Oktober 2021 Cair Tahap 4

"Hal ini pasti sudah diatur di SOP masing-masing bank," ujar Robert menanggapi pertanyaan seputar kewajiban bank melakukan due diligence dalam proses pembelian MTN.

Namun saat media ini menanyakan persoalan pembelian MTN oleh Bank NTT dengan merujuk pada temuan dan rekomendasi BPK, Robert Sianipar enggan berkomentar.

"Itu sudah kasus lama dan sudah selesai, saya tidak perlu komen," katanya.

Robert kemudian tidak lagi merespon saat media ini berusaha menanggapi balik jawabannya dengan menyebut bahwa temuan auditor BPK yang belum di tindaklanjuti, tidak bisa hanya selesai dengan statemen bahwa kasus itu adalah kasus lama. Sebab kasus itu akan selalu baru, sejauh tidak ada tindak lanjut atas temuan BPK.***

Editor: Tommy Aquino

Tags

Terkini

Terpopuler