Hanya Debulah Aku di Alas Kaki-Mu, Tuhan

- 1 Maret 2022, 17:17 WIB
Pater Kons Beo,SVD
Pater Kons Beo,SVD /dok.Pribadi/

“Bila kau mencapai jantung kehidupan, kau akan mendapati dirimu tidak lebih tinggi dari penjahat, dan tidak lebih rendah daripada nabi”, Kahlil Gibran, penulis-penyair-seniman, Libanon 1882 – New York 1931.

Oleh : Pater Kons Beo, SVD

Ingatlah! Engkau Berasal dari Debu-Tanah

Kita kembali awali hari-hari Puasa. Inilah momentum ketika kita dipulangkan kembali kepada debu. Tuhan ciptakan manusia dari debu-tanah. Dan dihembuskan ke dalamnya nafas kehidupan. Maka, kapan dan di mana saja serta bagaimana pun dia, manusia itu tetaplah debu-tanah. Manusia sungguh bercitra dan hidup, tak hanya karena gambar dan rupa Allah yang ternyatakan di dalamnya. Tetapi, dalam diri manusia, ada pula nafas kehidupan itu. Allah menghidupkannya (cf Kej 2:7).

Seremoni Gereja ingatkan bahwa kita adalah sungguh debu-tanah. Bukan kah di liang lahat itu, butiran debu-tanah itu ditabur ke atas peti jenasah, diiringi untaian kata, “Engkau berasal dari tanah, dan kembali menjadi tanah” (Kej 3:19)? Dan bahwa kalimat yang sama itu bisa diucapkan saat ‘abu ditabuhkan ke atas kita’ di Hari Rabu Abu?

Baca Juga: Kompak Desak Bupati Ende Djafar Achmad Tunjukan SK Wakil Bupati Ende Erikos Emanuel Rede

Saat Keterasingan Sungguh Mencekam

Puasa yang ditandai dengan abu hendak pulangkan kita semua pada yang asli, yang sebenarnya kita. Hari-hari hidup yang telah dan tengah berlalu itu, nampaknya tertahan. Sebab kita mesti jedah sejenak. Mesti kembali akrabi diri sendiri. Telah jauh dan sering serong kita berlangkah di peziarahan hidup ini.

Bisa saja kita alami keterasingan dengan semua yang dialami. Dan bukan tak mungkin bahwa kita bisa pula terasing dari diri sendiri. Sekian banyak hal telah ‘membungkus diriku yang asli.’ Tak peduli, entah ‘pembungkus itu’ digapai secara santun, atau pun diraih dengan ‘tips penuh kasarnya.’

‘Anda berprestasi? Populer dan punya nama besar? Anda miliki jabatan dan punya kuasa? Anda berpangkat? Terbilang the haves, kaum berpunya harta dan modal? Anda bertitel dan punya wibawa akademik? Anda diperhitungkan dan berpengaruh? Suara dan sikap Anda amat menentukan nasib sesama…? Bagaimana pun, jedah spiritual (puasa) hanya ingin ‘mencuri sepotong waktu’ untuk hentikan segala laju penuh ramai dan hiruk pikuk di kehidupan ini, bahwa  “Engkau berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu tanah…”

Baca Juga: FANTASI OLIGARKI RUNTUHKAN DEMOKRASI (Catatan sekitar polemik Presiden 3 periode)

Rendahkanlah Dirimu!

Segala yang tergapai itu bisa saja bikin ‘kita manusia lupa diri.’ Manusia, dalam segalanya, justru didera rasa dan mengangkat diri sendiri ‘di atas segalanya.’ Maka, dinamika alunan puasa itu, sejatinya, adalah pulangkan manusia kepada kerendahan hati. Manusia-debu tanah adalah ‘insan humus’ yang mesti tetap ada dalam bingkai humility (kerendahan hati).

Ingatlah! Bukan kah kesombongan adalah awal terceburnya manusia dalam genangan dosa? Saat “Manusia ingin sama seperti Tuhan, PenciptaNya” (cf Kej 3:5) Dan ingatlah kisah menara Babel yang adalah simbol kesombongan manusia untuk mencapai langit (Kej 11:4).

Kesombongan adalah jalur ‘bebas hambatan’ untuk sekian mudahnya kita keluarkan sesama dari jalur perhatian dan kehidupan kita. Menempatkan diri di atas sesama (syndrom superioritas) yang disuplai oleh bara api arogansi akan menjebak kita dalam ‘kata dan sikap kasar tak terukur’ terhadap sesama.

Baca Juga: Ini Delapan Butir Pernyataan Sikap Aliansi Masyarakat Bersih Kabupaten Ende Terkait Keabsahan Wakil Bupati

Maka di situ pula, mengalir deraslah berbagai kekerasan, ujaran penghinaan, sikap tak memperhitungkan orang lain, serta aneka gesture yang merendahkan sesama, yang dipertebal dengan aroma penuh kebencian. Kesombongan adalah impuls demi jadikan diri sendiri sebagai standar mewah dan extra ordinary yang sulit ‘terjangkau’ sesama. Di situlah, tirani superioritas temukan ‘alasannya.’

Dipanggil Kepada Persahabatan Debu-Tanah

Tetapi, ‘panggilan kembali ke debu-tanah’ dalam mahkota puasa hendak runtuhkan segala kedigdayaan kesombongan.  Agar semuanya terajut dan tertenun kembali dalam persahabatan debu-tanah. Kita semua adalah insan rapuh dan berdebu. Tidak kah persahabatan debu-tanah itu adalah narasi untuk saling meneguhkan dan kembali saling mengutuhkan?

Di situlah, setiap kita menelisik diri, “mengoyakkan hati” (Yoel 2:13) dan menatanya kembali jadi indah. Dan jadilah  rumah hati kita nan teduh bagi sesama. Tetapi, apakah mungkin kita berhasil ‘memanggil pulang’ sesama yang telah terluka, tersakiti, terpinggirkan, terhakimi sementara hati ini tetap dalam suasana keangkeran nan seram? Apakah tak sia-sia untuk sungguh mau membangun sebuah rumah diam lebih luas dan lebar bagi  yang selalu punya alasan untuk merasa tak at home atau bakal tetap asing, tersembunyi dan bahkan hilang di dalam rumahnya sendiri?

Tuhan Yang ‘Terpinggirkan’?

Tetapi, puasa juga, di atas segalanya, adalah kisah menata kembali ‘altar Tuhan yang telah tercemar oleh berbagai berhala.’ Ketika otoritas KasihNya telah dilengserkan oleh berbagai hukum yang membelenggu. Ketika, di hadapan Allah dan di atas altarNya, tak terungkap lagi “jiwa yang menyesal dan hati yang remuk redam.”

Sebab manusia telah sekian percaya diri dalam ‘kesalehan palsu’ yang hendak menjebak sesama dengan “tidak minyaki kepala dan tak cuci muka agar dipuji sedang berpuasa” (cf Mat 6:17). Saat ego-diri terlalu tebal, mengental dan tangguh, maka segala ulah kesalehan dan praktek kesucian apapun segera menjadi saluran ‘pengagungan diri sendiri.’ Dan di mana kah Tuhan?

“Tuhan telah diambil alih agama-agama, dan agaknya itulah masalah yang paling gawat hari-hari ini,” tulis Goenawan Mohamad. Manusia tak sudi lagi menjadi suci di dalam kesucian dan kebenaran Tuhan. Ia ingin jadi suci dengan cara-caranya sendiri yang ‘tertutup dalam dirinya serentak keras terhadap yang luar, dan jadi tak bersahabat dengan alam.’ Manusia tak ingin najis hanya oleh perjumpaan mesrah di dalam kemanusiaan semesta.  

Baca Juga: Aliansi Masyarakat Bersih Kabupaten Ende Gelar Aksi , Pertanyakan Keabsahan Wakil Bupati Ende

“Ya Bapa, Kami Pulang Kepada-Mu…”

Puasa berujung pada gerak batin yang diperbaharui untuk kembali bersujud sembah. Demi memandang Allah sebagai Allah yang benar, dan bahwa “hanyalah Dia di atas segalanya.” Kita gagal dalam hidup. Kita gugup dan tak nyaman dalam perjumpaan dengan sesama, kita menjadi jauh dari ‘keadilan dan berbelaskasih’ bagi dunia yang menderita, karena aura Kasih dan Damai Tuhan tak menyelimuti hati kita.

Maka sepantasnya kita jedah sejenak dalam puasa penuh makna! “Sekarang…berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan mengaduh. Koyakanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu, sebab IA pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia..” (Yoel 2:12-13).

Akhirnya…

Suara Lisa A Riyanto itu sungguh menyentil relung jiwa kita:

“Hanya debulah aku, di alas kakiMu, Tuhan

Hauskan titik embun, Sabda penuh ampun

Tak layak aku tengadah, menatap wajahMu

Namun ku tetap percaya, maha rahim Engkau

Ampun seribu ampun, hapuskan dosa-dosaku

Segunung sesal ini, kuunjuk padaMu

Tak layak aku tengadah, menatap wajahMu

Namun kutetap percaya, maha rahim Engkau.”

SUNGGUH! Semua kita hanyalah debu di alas kaki TUHAN.

Verbo Dei Amorem Spiranti

P. Kons Beo ,SVD tinggal di Collegio San Pietro - Roma.***

Editor: Alex Raja S


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x