Hanya Debulah Aku di Alas Kaki-Mu, Tuhan

- 1 Maret 2022, 17:17 WIB
Pater Kons Beo,SVD
Pater Kons Beo,SVD /dok.Pribadi/

Baca Juga: FANTASI OLIGARKI RUNTUHKAN DEMOKRASI (Catatan sekitar polemik Presiden 3 periode)

Rendahkanlah Dirimu!

Segala yang tergapai itu bisa saja bikin ‘kita manusia lupa diri.’ Manusia, dalam segalanya, justru didera rasa dan mengangkat diri sendiri ‘di atas segalanya.’ Maka, dinamika alunan puasa itu, sejatinya, adalah pulangkan manusia kepada kerendahan hati. Manusia-debu tanah adalah ‘insan humus’ yang mesti tetap ada dalam bingkai humility (kerendahan hati).

Ingatlah! Bukan kah kesombongan adalah awal terceburnya manusia dalam genangan dosa? Saat “Manusia ingin sama seperti Tuhan, PenciptaNya” (cf Kej 3:5) Dan ingatlah kisah menara Babel yang adalah simbol kesombongan manusia untuk mencapai langit (Kej 11:4).

Kesombongan adalah jalur ‘bebas hambatan’ untuk sekian mudahnya kita keluarkan sesama dari jalur perhatian dan kehidupan kita. Menempatkan diri di atas sesama (syndrom superioritas) yang disuplai oleh bara api arogansi akan menjebak kita dalam ‘kata dan sikap kasar tak terukur’ terhadap sesama.

Baca Juga: Ini Delapan Butir Pernyataan Sikap Aliansi Masyarakat Bersih Kabupaten Ende Terkait Keabsahan Wakil Bupati

Maka di situ pula, mengalir deraslah berbagai kekerasan, ujaran penghinaan, sikap tak memperhitungkan orang lain, serta aneka gesture yang merendahkan sesama, yang dipertebal dengan aroma penuh kebencian. Kesombongan adalah impuls demi jadikan diri sendiri sebagai standar mewah dan extra ordinary yang sulit ‘terjangkau’ sesama. Di situlah, tirani superioritas temukan ‘alasannya.’

Dipanggil Kepada Persahabatan Debu-Tanah

Tetapi, ‘panggilan kembali ke debu-tanah’ dalam mahkota puasa hendak runtuhkan segala kedigdayaan kesombongan.  Agar semuanya terajut dan tertenun kembali dalam persahabatan debu-tanah. Kita semua adalah insan rapuh dan berdebu. Tidak kah persahabatan debu-tanah itu adalah narasi untuk saling meneguhkan dan kembali saling mengutuhkan?

Di situlah, setiap kita menelisik diri, “mengoyakkan hati” (Yoel 2:13) dan menatanya kembali jadi indah. Dan jadilah  rumah hati kita nan teduh bagi sesama. Tetapi, apakah mungkin kita berhasil ‘memanggil pulang’ sesama yang telah terluka, tersakiti, terpinggirkan, terhakimi sementara hati ini tetap dalam suasana keangkeran nan seram? Apakah tak sia-sia untuk sungguh mau membangun sebuah rumah diam lebih luas dan lebar bagi  yang selalu punya alasan untuk merasa tak at home atau bakal tetap asing, tersembunyi dan bahkan hilang di dalam rumahnya sendiri?

Halaman:

Editor: Alex Raja S


Tags

Terkini

x