Selama Pembelajaran Jarak Jauh, Angka Kekerasan dan Eksploitasi Terhadap Anak Meningkat

- 18 September 2021, 08:22 WIB
Ilustrasi kekerasan anak.
Ilustrasi kekerasan anak. /Pixabay/Counselling

WARTA SASANDO - Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan mengakibatkan pelajar harus berhadapan dengan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang berlangsung di rumah, baik dengan sistem daring maupun luring.

Namun, sistem PJJ yang dilaksanakan selama masa pandemi Covid-19 ternyata menimbulkan banyak dampak negatif.

Bukan hanya hasil pembelajaran yang optimal, yang lebih memprihatinkan lagi terjadinya peningkatan angka kekerasan dan eksploitasi terhadap anak.

Terjadinya peningkatan angka kekerasan dan eksploitasi terhadap anak selama pemberlakukan PJJ, diungkapkan Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Garut, Rahmat Wibawa, Jumat 17 September 2021. Bentuk kekerasan yang terjadi terhadap anak pun jenisnya bermacam-macam.

Baca Juga: Bocoran Ikatan Cinta 18 September 2021: Al dan Andin Bayang Masa Depan yang Bahagia Bersama Anak Semata Wayang

"Selama pelaksanaan PJJ, kami memang banyak mendapatkan laporan terkait kekerasan terhadap anak. Jenis kekerasannya bermacam-macam ada yang bersifat verbal dan ada juga yang bersifat fisik," ujar Rahmat dilansir WartaSasando.com dari Pikiran-Rakyat.com, Sabtu 18 September 2021.

Yang lebih disayangkan lagi, tutur Rahmat, para pelaku kekerasan terhadap anak yang kebanyakan orang tuanya sendiri justru tak menyadari kalau apa yang telah dilakukannya itu merupakan kekerasan. Mereka pun tak sadar jika apa yang dilakukannya itu dapat memberikan dampak negatif bagi anak.

Menurut Rahmat, kekerasan yang menimpa anak-anak kebanyakan terjadi saat kegiatan pembelajaran jarak jauh berlangsung di rumah baik dengan sistem daring maupun luring. Sikap anak yang tidak fokus terhadap pelajaran karena biasanya dibimbing oleh guru tapi kini oleh orang tua, seringkali menimbulkan emosi orang tua sehingga tanpa sadar melakukan kekerasan baik verbal maupun fisik.

Baca Juga: Kedapatan Jual Rokok ke Anak di Bawah Umur, Pemilik Kios Didenda Rp 50 Juta

Disebutkannya, sikap orang tua yang memarahi anaknya sudah masuk pada kategori kekerasan verbal, Sedangkan kemarahan yang dilakukan dengan cara mencubit atau menjewer anak, sudah masuk pada kekerasan fisik yang sebenarnya tidak boleh terjadi.

"Bahkan sampai saat ini kami masih banyak mendapatkan laporan jika kekerasan terhadap anak masih saja berlangsung. Hal ini dikarenakan meskipun saat ini sudah mulai diberlakukan pembelajaran tatap muka (PTM), tapi kan masih terbatas sehingga anak masih banyak belajar di rumah," katanya.

Rahmat berharap, kekerasan terhadap anak selama PJJ tidak lagi terjadi. Hal tersebut menjadi perhatian pihaknya karena akan memberikan dampak psikologis secara tidak langsung terhadap anak.

Baca Juga: 3 Tahun Cabuli Anak Kandung, Ayah Bejat di Manggarai Diancam 20 Tahun Penjara

Rahmat juga menyampaikan, selain kekerasan baik verbal maupun fisik yang dialami anak, selama PJJ juga telah terjadi angka kasus eksploitasi terhadap anak oleh orang tuanya. Karena tak sekolah, tak sedikit anak yang akhir-akhir ini harus bekerja mencari uang meski tak secara langsung disuruh oleh orang tuanya.

Ia mencontohkan, saat ini banyak badut ngamen yang ternyata dilakukan oleh anak-anak. Sebagian dari mereka memang tidak disuruh oleh orang tuanya untuk menjadi badut ngamen guna menghasilkan uang akan tetapi orang tua mereka malah turut menikmati uang hasil ngamen anaknya.

"Banyak orang tua yang berkilah jika anaknya menjadi badut untuk ngamen mencari uang karena keinginannya sendiri. Namun ironisnya para orang tua malah ikut-ikutan menikmati uang hasil ngamen anak-anaknya sehingga ini juga masuk kategori eksploitasi anak," ucap Rahmat.

Baca Juga: Mengaku Dianiaya dan Mohon Perlindungan, Nenek di Bekasi Tulis Surat Terbuka untuk Jokowi

Menurutnya, kebiasaan anak seperti itu juga dapat menimbulkan dampak yang negatif terhadap mental dan pendidikan anak. Hal ini dikarenakan sejak kecil mereka sudah terbiasa hidup di jalanan dimana kemungkinan mereka akan bertemu dengan hal-hal yang tidak wajar.

Masih menurut Rahmat, karena sudah terbiasa mencari dan mendapatkan uang sendiri, maka anak juga akan merasa enggan untuk kembali sekolah. Mereka akan berpikiran untuk apa sekolah kalau mereka sudah bisa menghasilkan uang sendiri.

Menyikapi permasalahan ini, Rahmat berjanji pihaknya akan melakukan upaya-upaya pencegahan. Namun mengingat untuk mengatasi masalah ini diperlukan

adanya kerjasama antara lini, maka pihaknya akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait lainnya.***

Editor: Tommy Aquino

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Terkini

x