Kisah Pilu Guru Honorer Ikut Seleksi PPPK: Yang Sudah Sepuh Dipaksa untuk Berkompetisi

21 September 2021, 19:51 WIB
Tangkapan layar - Perjuangan Imas Kustiani mengikuti seleksi PPPK di Karawang, Jawa Barat. /Instagram/@pgri_kotabaru.fc/

WARTA SASANDO - Menyaksikan para guru honorer yang telah mengabdi puluhan tahun ikut berjuang dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sungguh menggetarkan hati.

Demi diangkat menjadi PPPK, para guru yang bahkan di antaranya sudah sepuh dan menderita sakit harus tertatih-tatih mengikuti tahap demi tahap proses seleksi.

Dipaksa untuk berkompetisi dengan mereka yang masih muda, mau tak mau harus dijalani demi mendapat kesempatan diangkat menjadi tenaga PPPK.

Pengalaman puluhan tahun mengajar hampir tak diperhitungkan pada proses ini. Di antara para guru honorer yang telah mengabdi puluhan tahun ini bahkan ada yang masih menerima honor Rp 250.000 atau Rp 300.000 per bulan.

Tak perlu dijelaskan bagaimana mereka bersusah payah memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi di tengah pandemi Covid-19, seorang guru harus berperan lebih banyak dalam pembelajaran.

Pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas yang sudah dimulai di sejumlah sekolah di berbagai wilayah, membuat guru-guru harus mampu melayani para peserta didiknya secara tatap muka sekaligus dengan metode dalam jaringan.

Di sisi lain, para guru honorer ini juga harus memikirkan dapur dan perutnya. Bukan perkara mudah di saat tanggung jawab sebagai pendidik dituntut harus diberikan secara penuh tetapi penghasilan masih juga belum memadai. Sementara tunjangan kinerja bersumber dari APBD daerah juga seringkali terlambat.

Kembali pada seleksi PPPK, berbagai pihak menilai, prosesnya tak ramah terhadap guru honorer senior.

Dikutip WartaSasando.com dari Pikiran-Rakyat.com, Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menuturkan, sebagian besar guru honorer senior tak mampu mencapai passing grade yang disyaratkan dalam ujian kompetensi teknis seleksi PPPK.

Meski ada poin afirmasi bagi para guru senior ini, nilainya tak cukup membantu. Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) hanya memberikan poin 50-70.

Sementara batas nilai yang harus dicapai dalam kemampuan teknis berkisar 235-325 poin. Syaiful menilai, tidak adil jika para guru honorer senior yang sudah mengabdi puluhan tahun harus bersaing dengan junior fresh graduate yang pastinya lebih piawai menjawab soal-soal ujian kemampuan teknis.

Semestinya, seleksi PPPK untuk sejuta honorer ini tidak disamakan, dan bisa mengadopsi pola Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang menyediakan jalur-jalur khusus demi menampung keberagaman siswa.

Beragam kekecewaan pun muncul. Bagaimana sedihnya guru honorer senior yang gagal mencapai passing grade.

Sementara masa kerjanya tinggal 3-4 tahun. Salah satu kisah menyayat hati manakala seorang guru honorer berusia 57 tahun asal Jawa Timur gagal seleksi.

Seorang pengawas ruangan bahkan membagikan kisah tersebut melalui surat terbuka yang dia tulis dengan berderai air mata.

Yang terhormat Mas Menteri Nadiem Makarim. Tak ada rasa ngilukah di dalam dada Mas Menteri melihat sepatu tua yang lusuh ini? Tahun ini Mas Menteri memberikan secercah harapan untuk beliau. Program PPPK untuk memberikan harapan kehidupan yang lebih layak. Tetapi tahukah Mas Menteri? Soal-soal yang Mas menteri berikan hanya teori. Tak sebanding dengan praktik pengabdian berpuluh-puluh tahun lamanya. Akhirnya passing grade pun tak diraih. Pecahlah tangis beliau dalam hati. Terlihat jelas ketika nilai-nilai itu terpampang di layar monitor, beliau terdiam seribu bahasa. Beliau mempunyai andil besar dalam membangun negeri tercinta ini. Sudi kiranya Mas Menteri memberikan keringanan untuk melihat beliau bisa menikmati masa tua dengan sepatu dan kehidupan yang layak. Tak usah diperumit, jika tidak ada kebijakan untuk mengangkat derajat mereka, setidaknya di surga besok sepatu ini akan menjadi saksi bahwa ilmu yang beliau ajarkan sangat bermanfaat untuk keberlangsungan umat. Dari saya Novi Khassifa, pengawas ruang PPPK. Ditulis dengan berurai air mata.”

Unggahan ini pun mendapat banyak respons. Kisah-kisah serupa juga bermunculan dari berbagai daerah di Indonesia.

Meski Kemendikbudristek termasuk juga Kemenpan-RB tak goyah dengan kebijakan tersebut, para pahlawan tanpa tanda jasa ini masih berharap Mendikbudristek bisa memberikan kebijakan terbaiknya yang bisa memberikan sedikit angin segar dan harapan bagi mereka.***

Editor: Tommy Aquino

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler