Gurita Korupsi Dana Desa dan ADD di NTT

- 8 Oktober 2021, 23:38 WIB
Ilustrasi Korupsi Dana Covid -19
Ilustrasi Korupsi Dana Covid -19 /
 
WARTA SASANDO - Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Desa, Dana Desa (DD) yang bersumber dari APBN diprioritaskan untuk pembiayaan pelaksanaan program dan kegiatan di desa. Sasaran akhirnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat serta penanggulangan kemiskinan.
 
Khusus di Nusa Tenggara Timur (NTT), kehadiran Dana Desa justru belum membawa dampak yang signifikan bagi kemajuan desa. Dana Desa yang dirancang untuk mengurangi desa tertinggal sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan infrastruktur sebagai fokus utama, kenyataannya masih jauh panggang dari api. Tidaklah heran jika NTT masih menjadi provinsi termiskin ketiga di Indonesia, setelah Papua dan Papua Barat, dimana kesenjangan kemiskinan antara kota dan desa masih sangat tinggi.
 
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTT, persentase penduduk miskin di desa dalam 3 tahun terakhir tidak pernah turun dari angka 24 persen. Maret 2018, persentase kemiskinan di desa 24,74 persen (1.020.210 orang); September 2018 24,65 persen (1.020.050); Maret 2019 24,91 persen (1.032.200 orang); September 2019 24,45 persen (1.020.840 orang); Maret 2020 24,73 persen (1.040.370 orang); September 2020 25,26 persen (1.054.650 orang); Maret 2021 25,08 persen (1.050.550 orang).
 
Kembali lagi pada pengelolaan keuangan desa. Fakta yang terjadi sekarang ini sungguh miris. Kehadiran Dana Desa untuk menopang pembangunan desa justru membuat elite-elite desa semakin kerasukan untuk korupsi. Mental korup inilah yang kemudian turut memberikan kontribusi terhadap kemiskinan. 
 
Awal tahun 2019, saat masih sebagai Kontributor Florespedia (media partner Kumparan), saya tergerak untuk mengumpulkan data-data seputar korupsi keuangan desa. Datanya tersaji lengkap di website resmi Pengadilan Negeri Klas 1A Kupang. Khususnya pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara (https://sipp.pn-kupang.go.id/). 
 
Meski lengkap, namun proses pengumpulan data korupsi Dana Desa dan ADD sungguh tidak mudah. Perlu ketelitian dan kesabaran karena harus melihat perkara korupsi satu per satu, dimulai dari tahun 2015 ke atas. 
 
Pada 29 April 2019, berita yang saya tulis seputar data kasus korupsi Dana Desa dan ADD terbit di Kumparan. Dari data perkara yang didaftarkan terhitung sejak 17 April 2017 sampai 10 April 2019, jumlah kades/mantan kades yang diproses di pengadilan sebanyak 24 orang. 
 
26 Mei 2019 terbit lagi berita di Kumparan. Jumlah kades/mantan kades dalam pusaran korupsi Dana Desa dan ADD bertambah menjadi 32 orang. Rinciannya 22 orang sudah divonis/diputus bersalah, 4 orang berstatus terdakwa, dan 6 orang berstatus tersangka.
 
14 Juli 2020, saat resign dari Kumparan dan menjadi Redaktur RakyatNTT.com, saya kembali menulis berita tentang korupsi Dana Desa dan ADD. Jumlah kades/mantan kades yang terseret bertambah menjadi 45 orang. 36 orang diantaranya telah divonis hakim, 7 orang berstatus terdakwa dan 2 orang berstatus tersangka.
 
11 Februari 2020, lagi-lagi saya menerbitkan berita korupsi Dana Desa di RakyatNTT.com. Jumlah kades/mantan kades penikmat Dana Desa dan ADD terus meningkat menjadi 52 orang. 45 orang diantaranya telah divonis, dimana 42 perkara inkrah, 2 perkara masih lanjut ke tingkat kasasi dan 1 perkara masih peninjauan kembali (PK). Selanjutnya, 6 orang masih berstatus terdakwa dan berstatus tersangka 1 orang. 
 
Dari 45 perkara yang sudah diputus majelis hakim PN Kupang, akumulasi kerugian negara yang dihitung dari pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara mencapai Rp 9 miliar lebih.
 
Terakhir sebelum resign dari RakyatNTT.com, saya menerbitkan berita korupsi Dana Desa di tanggal 21 Agustus 2021. Jumlah kades/mantan kades yang tersandung meningkat jadi 61 orang. 54 orang diantaranya sudah divonis dengan hukuman beragam, dengan total uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 10.344.931.869. Sementara 7 orang lainnya masih berstatus terdakwa dan 4 orang berstatus tersangka.
 
Sampai dengan Kamis 7 Oktober 2021, tercatat ada 56 kades/mantan kades sudah divonis. Total uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 10.769.321.330. 5 orang masih berstatus terdakwa dan 4 berstatus tersangka.
 
Selain 61 kades/mantan kades, 37 aparatur desa terdiri dari sekretaris, bendahara serta Kasi/Kaur yang dipercaya sebagai tim pelaksana kegiatan, juga telah divonis bersalah dalam kasus korupsi Dana Desa dan ADD. Total uang pengganti kerugian negara yang dibebankan kepada mereka sebesar Rp.5.051.932.016,30. 
 
Ada 4 bendahara desa yang masih berstatus terdakwa. Sedangkan kontraktor (pihak ketiga) yang ikut menjadi pesakitan kasus korupsi Dana Desa sebanyak 11 orang. 10 diantaranya telah divonis dan 1 orang lainnya masih disidangkan. Dari 10 kontraktor yang sudah divonis, 6 diantaranya sudah mengembalikan uang pengganti kerugian negara. Sisa 4 orang belum mengembalikan uang pengganti kerugian negara hingga putusan dibacakan. Akumulasi yang dibebankan kepada 4 kontraktor ini sebesar Rp.841.434.122,29.
 
Rendahnya komitmen pemerintah dan APH dalam pemberantasan korupsi
 
Berdasarkan data pada SIPP PN Kupang, perkara korupsi Dana Desa dan ADD di NTT paling banyak berasal dari Kabupaten Timor Tengah Utara (10 perkara); Rote Ndao (7 perkara); Manggarai (5 perkara); Sikka dan Sumba Timur (4 perkara); Kabupaten Kupang, Belu, Malaka, Ngada, Ende, Sumba Tengah dan Lembata (3 perkara); Timor Tengah Selatan, Nagekeo dan Sumba Barat (2 perkara); serta Manggarai Barat, Manggarai Timur, Alor dan Sumba Barat Daya (1 perkara).
 
Dari data di atas, diketahui ada 2 kabupaten di NTT yang bebas dari korupsi Dana Desa dan ADD yakni Flores Timur dan Sabu Raijua. 
 
Saya pribadi yakin jika pemerintah daerah dan aparat penegak hukum berkomitmen memberantas korupsi Dana Desa yang sudah menjamur, tentu jumlah perkara yang berproses sampai ke pengadilan pasti akan lebih banyak dari yang sudah disebutkan.
 
Anggota DPD RI Abraham Paul Liyanto kepada awak media pada pertengahan September 2021 lalu bahkan terang-terangan menyebut bahwa ada ratusan kades dan mantan kades di NTT lolos dari jeratan hukum meski menilep Dana Desa.
 
Menurut Senator asal NTT itu, para kades dan mantan kades lolos karena adanya aturan yang menyebut bahwa pemeriksa awal atas dugaan korupsi dana desa dilakukan inspektorat. Konsekuensinya, APH tidak bisa langsung memeriksa atau mengaudit Dana Desa berdasarkan laporan masyarakat. 
 
Jelas ini adalah sebuah kemunduran dalam penanganan korupsi. Sebab pihak Inspektorat bisa saja 'main mata' dengan pemerintah desa saat melakukan audit. Pada akhirnya, laporan masyarakat kepada APH tidak bisa ditindaklanjuti, karena rapor pengelolaan keuangan desa selalu bersih dari coretan merah. 
 
Yang lebih miris, meski sudah temuan Inspektorat dan direkomendasikan oleh pemerintah daerah untuk ditindaklanjut oleh APH, penanganan kasusnya malah tidak ada kejelasan. Ini yang terjadi di Kabupaten Malaka. 12 kades yang direkomendasikan Pemkab Malaka ke Kejari Belu sejak bulan Mei 2021, hingga kini tidak ada titik terang. 
 
Jika sudah seperti ini, jangan heran kalau kasus korupsi Dana Desa dan ADD oleh elite-elite desa di NTT masih menggurita. Begitu juga dengan kasus korupsi lainnya.***

Editor: Tommy Aquino


Tags

Terkini

x