AJI Kota Kupang Sesalkan Tindakan Polisi yang Ancam Wartawan Saat Rekon Kasus Pembunuhan

22 Desember 2021, 18:35 WIB
Oknum Polda NTT diduga larang wartawan meliput. Foto: dok /tangkap layar/medsos

WARTA SASANDO – Larangan dan ancaman oleh oknum anggota Polda NTT kepada wartawan saat meliput jalannya rekonstruksi kasus pembunuhan Astri Manafe (30) dan Lael Maccabee (1) mendapat tanggapan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kupang. 

AJI menilai larangan dan ancaman oknum polisi sebagai upaya menghalang-halangi kerja pers seperti yang diamanatkan dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Pada Pasal 4 disebutkan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara (ayat 1); Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran (ayat 2); Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (ayat 3).

Penjabaran ini dipertegas lagi pada Pasal 18 yang menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan sesuai ketentuan pasal 4 ayat 2 dan 3, dipidana dengan pidana penjara paling lambat 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.

Atas dasar ini, AJI Kota Kupang menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Menyesalkan tindakan oknum anggota kepolisian daerah (Polda) NTT yang melarang dan mengancam wartawan saat melakukan kerja-kerja jurnalistik.

2. Meminta Kapolda NTT untuk memberikan sanksi bagi oknum polisi yang menghalangi kerja-kerja jurnalistik.

3. Mendesak oknum anggota polisi itu meminta maaf secara terbuka ke publik.

4. Jika tuntutan ini tidak diindahkan dalam waktu 2×24 jam, maka AJI Kota Kupang akan membawa masalah ini ke Mabes Polri.

Untuk diketahui, larangan dan ancaman oleh oknum polisi kepada dua wartawan Pos Kupang yang merekam rekonstruksi kasus pembunuhan Astri dan Lael, terjadi pada Selasa 21 Desember 2021. Tepatnya di salah satu tempat jualan kelapa di Kelurahan Penkase, Kota Kupang.

Dalam video yang beredar luas di media sosial, oknum polisi menanyakan alasan wartawan merekam jalannya proses rekonstruksi. “Ini siapa. Dari mana?” tanya oknum polisi. “Dari Pos Kupang,” jawab Irfan, wartawan Pos Kupang.

Meski Irfan mengaku sebagai wartawan, namun oknum polisi itu tetap melarangnya untuk merekam. “Jangan merekam.”

Tak berhenti sampai di situ, oknum polisi yang sama kemudian meminta anggota polisi lainnya untuk mengecek dan menyita ponsel bila masih merekam jalannya rekonstruksi. “Anggota dicek, kalau rekam hanphone ambil," kata oknum polisi tersebut.

Larangan kepada wartawan juga terjadi di salah satu lokasi rekontruksi tak jauh dari Pasar Oebobo. Seorang anggota polisi juga melarang wartawan Pos Kupang lainnya melakukan peliputan.***

Editor: Tommy Aquino

Tags

Terkini

Terpopuler