Perempuan Itu Bernama “Veronika”

- 9 Maret 2022, 19:24 WIB
Pater Kons Beo,SVD
Pater Kons Beo,SVD /dok Pribadi/

“Wajah yang tak pernah mengeluh. Tegap dalam sikap sempurna. Pantang menyerah” - Ebiet G Ade dalam lyrik Seraut Wajah 

Perlukah Kita Berimajinasi?

Di lintasan jalan itu, ia menatap Tuhan. Ia berusaha jadi tegar hati. Walau Tuhan yang tertatap itu penuh memar. Wajah nyaris tak berbentuk. Dengan beban hampir tak terpikulkan. Tenaga telah terkuras penuh keringat. Dengan sepotong tenaga tersisa, Tuhan tetap berlangkah. Pantang menyerah.

Setegar apapun dia, toh hatinya pun luluh juga. Duka derita Tuhan terlalu kuat untuk menembus rasa penuh ibanya. Iya, dia, si perempuan itu, Veronika, mesti berbuat sesuatu bagi Tuhan. “Veronika lalu menyapu wajah Tuhan.”

Apa yang dilukiskan ini tentu tak alkitabiah. Tak tercatat pada keempat Injil. Pun tak terkisahkan pada surat-surat di Perjanjian Baru tentang fakta Veronika. Sungguh tak faktual bahwa ada perempuan si Veronika di via dolorosa menuju titik penyaliban Golgota itu. Tetapi, mesti kah ‘sosok Veronika’ pantas ditinggalkan karena ‘ia’ a-historis, imajinatif. Yang tak beda dengan dongeng khayalan seribu satu malam pengantar bobo?

Baca Juga: Kiprah dan Harapan KPID NTT di Tengah Minimnya Alokasi Anggaran dari Pemprov

 “Veronika” historis, Namun…

 Maka, untuk sementara mari tinggalkan dulu “Veronika” sebagai pribadi. “Vero-Icono”, adalah lukisan-gambar-figura itu sendiri yang sungguh, yang benar. Itulah ‘gambar yang asli,  ajaib nan sesungguhnya.’ Bukan buatan tangan manusia. Gambar wajah penuh derita itu tak terjelaskan. Sebuah akheiropita, yang ‘terlukis’ di luar nalar.

Tetapi, dari vero-icono itu nampaknya mesti ‘dibentuk’ sosok pribadi ‘yang berhati dan berempati.’ Dan, adakah ‘sosok laki-laki yang sering terlukis punya hati untuk sampai meratapi wajah  berdarah?’ Tampaknya jarang. Bahkan ada yang berani bertaruh:  Tidak! Dunia maschile lebih terhubung dengan aura gagah, perkasa, keras, dan menjurus pada persaingan penuh kekerasan.

Adakah yang salah dari Gereja Barat (latin-Roma), yang sejak abad XV, melegendakan ‘Veronika’ sebagai sosok feminile (perempuan) di perjumpaan jalan salib Tuhan? Bila mesti ditelisik, maka siapapun yakin tak pernah ada data sejarahwi seputar “Veronika mengusapi wajah Yesus” yang berujung pada selembar  kain bergambar memar di wajah Yesus.

Baca Juga: Sambut Baik Penghapusan Syarat PCR-Antigen, BPOLBF Tetap Antisipasi Kerumunan di TN Komodo

Sia-siakah kita?

Lantas? Sia-siakah kita bertafakur sejenak pada perhentian ke enam Jalan Salib: “Veronika Mengusapi Wajah Yesus?” Bahwa hening kita di stasi jalan salib ke enam itu sebenarnya adalah ‘doa tikam’ kita atas  kerangka kosong dan kering tanpa isi?  Bahwa kita telah keliru besar dan bahkan sesat teramat tebal untuk sebuah ‘renung sunyi’ yang nir-historia?

Memang, Arkheiropita wajah Tuhan itu sungguh ada di luar nalar. Tetapi, bukan kah yang di luar nalar itu sanggup masuk sebagai satu kisah nyata? Yesus, Putera Allah, adalah pribadi nyata yang masuk dalam sejarah hidup manusia itu. Janji keselamatan Allah sungguh nyata masuk dalam sejarah keseharian manusia melalui hidup, derita-kematian dan kebangkitan PuteraNya.

Gambar wajah Yesus penuh derita adalah lukisan kisah nyata akan via crucis (jalan salib). Satu proses pengadilan yang tak adil telah terjadi atas diri seorang pra dari Nazaret. Semuanya terjadi amat mengerikan dan berakhir sekian tragis di tiang penyaliban Golgota.

Tetapi, mesti kah tapak-tapak mengerikan yang dialami Yesus itu mesti ditanggap dalam rana informative-historis belaka? Sebatas sungguh hanya dalam koridor sejarah? Atau sebaliknya terhakimi sebagai khayalan belaka?

Baca Juga: Juri Tidak Netral, WBC Anulir Kemenangan Petinju Tibo Menabesa atas Jayson Vayson

Agama yang Beriman vs Beriman yang Diagamakan

Jika demikian, dipatok sebatas pengetahuan, maka agama terasa bagai padang  gersang. Tanpa oase. Menghayati agama tak ubah dengan mencari atau pun memaksa sebuah kebenaran bahwa ‘yang di surga sungguh mesti nyata sama di bumi, pun sebaliknya’ Dan manusia lalu dipaksa untuk menerima ‘iman’ sebagai kisah dan isi yang instan itu. Tak peduli sedikit pun akan daya-daya imajinatif untuk memahami, misalnya, rangkaian tanda dan simbol. Demi mendekati yang ilahi atau kenyataan surgawi itu.

Religious experience, pengalaman beriman itu kaya dalam imajinasi. Dan karena itulah arus meditatif atau kontemplatif mesti subur demi hasilkan buah-buah refleksi yang kaya dan bermakna bagi hidup. Jika tidak demikian, sekali lagi, maka betapa manusia tak pernah meraih pengalaman beriman. Sebab, ia hanya terpenjara pada institusi agama yang sekedar terpatok pada dogmatisme sempit, fanatisme sengit. Dan pada muaranya hanya lahirkan beragam paham dan aksi radikalisme.

Pengalaman beriman itu, sesungguhnya, kaya dan subur serta terutama membebaskan. Di situlah alam rasional dan hati penuh kreatif itu sekian ‘bebas,’ tak terbogol untuk terus merindukan dan mencari Tuhan-nya.  Tak boleh bosan untuk katakan bahwa ‘hendaknya Tuhan janganlah dirantai dan dijebloskan ke dalam penjara agama.’ Tetapi, bahwa agama harus jadi alam sejuk segar agar manusia dengan bersorak-sorak, yang ‘jauh dari histeria seram,’ disanggupkan untuk mengalami Tuhan-nya.

Baca Juga: Bareskrim Tetapkan Crazy Rich Doni Salmanan Jadi Tersangka, Ditahan Usai Diperiksa 13 Jam

Veronika yang melampaui ‘vero-icono’

Mari kembali ke kisah Veronika. Ada kah kita berkeluh karena merasa terperangkap oleh sebuah tradisi yang non historis? Veronika tetaplah vero-icono! Tetapi saat ia dikontemplasi sebagai pribadi impersonal, maka jadilah ia sosok yang ‘memandang dan tersentuh hatinya’ akan derita yang dialami Yesus.

“Vero-icono” menambah keluasan akal budi yang sebenarnya tak dapat pula mengerti sepenuhnya formalisasi sebuah ikon sakral. Tetapi Veronika, katakan sebagai sosok imajinatif, yang ‘disisipkan’ pada kisah jalan salib itu, justru jadi satu kekuatan batin dalam beriman.

Tetapi, dalam sosok Veronika, iman tak boleh murahan pada sekedar ‘karena dan demi ikon’ dalam ancaman ikonoklasme. Tidak! Tetapi dalam Veronika, marilah kita menatap penuh kasih-karitatif akan sekian banyak sosok penuh derita di atas lembaran kain jagat raya ini.

Wajah-Wajah Terluka Di Pergulatan Hidup Hari-Hari Ini

Sekian jutaan manusia yang berwajah ‘memar berlumur darah’ akibat perang dan berbagai ragam kekerasan. Sekian banyak yang memar jalan hidupnya akibat praktek-pratek ketidakadilan , pemerasan, serta perampasan hak. Sekian banyak orang yang hilang kesempatan untuk hidup wajar dan semestinya akibat praktek-praktek koruptif sesamanya.

Di ziarah hidup ini, pada hari-hari belakangan ini, ‘matamu menatap wajah-wajah penuh pilu.’ Wajah tanpa daya di pertikaian Rusia dan Ukraina. Anda telah pahami semua segala sebab musababnya. Memori Anda amat kuat untuk menghitung tanpa keliru dan menghafal jumlah korban berjatuhan. Dan berapa  dampak kerugian yang diperkirakan.  Dari hari ke hari.

Akhirnya…

Veronika, yang impersonal itu, sungguh luhur untuk menyentuh hati. Demi satu cita rasa compassionate. Yang berbela rasa. Untuk bertahan dan terus bertahan untuk menyapu wajah Tuhan dalam doa dan puasa. Dalam tahan diri untuk tak sesukanya terhadap sesama yang berujung kehancuran dan kebinasaan.

Kita tentu sampai hati bila hanya tertahan sebatas pemuasan akal budi demi sebuah vero-icono, tanpa tertarik sedikit pun dan bahkan mengejek “Veronika menyapu wajah Yesus.” Mungkin, biarkanlah pula  ‘Veronika’ menyapu wajah kita juga. Agar sekian sekian orang percaya bahwa kita adalah murid-muridNya juga. Yang berakal sehat serentak berhati sejuk penuh empati.

Verbo Dei Amorem Spiranti

Disclaimer: Renungan ini ditulis oleh P. Kons Beo,SVD, misionaris SVD dari Flores Nusa Tenggara Timur yang kini bermisi di Italia dan tinggal di Collegio San Pietro, Roma***

Editor: Alex Raja S


Tags

Terkini

x