Renungan Hari Minggu Biasa XXXII 7 November 2021: Makna Agama yang Sejati

- 7 November 2021, 08:16 WIB
P. Stef. Buyung Florianus, O.Carm.
P. Stef. Buyung Florianus, O.Carm. /

Itulah sebabnya, kepercayaan para janda kepada ahli-ahli Taurat begitu besar. Sampai-sampai mereka tidak sadar bahwa mereka ditelan oleh ahli-ahli Taurat. Mereka dikelabui oleh kepalsuan orang-orang yang dianggap dekat dengan Tuhan.

Namun pada akhirnya, Yesus membuka kedok ahli-ahli Taurat. Guru yang sejati dalam hidup keagamaan bukanlah ahli Taurat, melainkan si janda. Janda itu memasukan sedikit uang ke dalam kotak persembahan.

Bagi Yesus, ia memberi lebih banyak dari semua orang lain. Dari kemiskinannya, ia telah memberikan semua yang dimilikinya. Dari kekurangannya, ia mempersembahkan seluruh nafkahnya (Mrk 12:44).

Janda itu menjadi guru dalam hal beriman. Hidupnya bergantung sepenuhnya pada Allah. Ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Melalui janda tersebut, Yesus mengungkapkan bagaimana menghayati makna agama yang sejati.

Sikap yang sama telah ditunjukkan oleh janda di Sarfat. Dalam kemiskinannya, ia membuatkan roti yang diminta oleh Elia. Dari kekurangannya, ia justru memberikan apa yang menjadi harapan terakhir kepada sang nabi. Ia mau berkorban bagi orang lain. Dan ketika ia tidak memikirkan dirinya, mukjizat terjadi. Tepung dalam tempayan tidak akan habis. Minyak dalam buli-buli pun tidak pernah berkurang sampai musim hujan tiba (bdk. 1Raj 17:15-16).

Contoh teragung sikap pemberian diri yang total terwujud nyata dalam pribadi Yesus Kristus. Ia rela menderita, bahkan mati di kayu salib bagi keselamatan dunia.

“Tetapi sekarang ternyata, pada zaman akhir ini, Ia hanya satu kali saja menyatakan diri untuk menghapus dosa lewat kurban-Nya.… demikian pula Kristus hanya satu kali saja mengurbankan Diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang. Sesudah itu Ia akan menyatakan Diri-Nya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka yang menantikan Dia.” (Ibr 9:26.28).

Sebagai murid-murid Yesus, kita diundang untuk belajar bagaimana hidup dalam iman. Iman itu kita ungkapkan dengan mempersembahkan, bukan pertama-tama barang, tetapi diri kita seutuhnya. Kita mengandalkan bukan lagi barang yang fana, melainkan Allah sendiri.

Dari kekurangan kita, melalui derita dan korban, kita memberikan seluruhnya kepada Tuhan. Tuhan mengharapkan persembahan diri kita seutuhnya hanya bagi-Nya. Justru dengan cara itu, rahmat semakin berlimpah kita alami.

St. Teresa dari Avila pernah berujar, “Jangan biarkan sesuatu pun mengganggumu. Hanya Allah cukup.” Atau St. Teresia dari Kanak-Kanak Yesus, dalam situasi apa pun, dalam suka dan duka, berani berkata, “Segala sesuatu adalah rahmat.”***

Halaman:

Editor: Tommy Aquino


Tags

Terkini

x