PSHT, Masalah Perbatasan dan Sorotan Budaya Bangsa

- 17 September 2021, 11:58 WIB
Simeon Sion
Simeon Sion /Foto Istimewa

Bila secara bijak menganalisa problematika ini, ada sisi keberuntungan yang bisa diambil. Sebut saja untuk pemasukan negara dari sektor pajak. Kedatangan warga asing asal Timor Leste ke wilayah NKRI bila dikelola dengan baik akan memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia. Kebijakan visa on arrival di perbatasan kedua negara bukan memberikan sedikit income bagi bangsa.

Perguruan Silat PSHT menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa. Olahraga bela diri pencak silat yang sejatinya milik Indonesia dan sudah masuk dalam Daftar Representatif Warisan Budaya Takbenda untuk Kemanusiaan oleh United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) tanggal 12 Desember 2019 tinggal dikelolah menjadi budaya yang bisa dilestarikan dan ditempatkan pada level pemanfaatan yang memberikan kontribusi dalam pembangunan bangsa.

PSHT sebagai bagian dari bela diri pencak silat sudah saatnya diperhatikan. Organisasi bela diri yang sudah berumur 99 tahun ini seolah-olah dianaktirikan dari organisasi bela diri lainnya yang berkembang di Indonesia. PSHT belum sepenuhnya diakui, meski legalitas organisasi sudah perlahan diurus. Kelompok ini sering diserang dan diajak beradu nyali oleh kelompok bela diri lainnya sehingga menimbulkan korban jiwa dan materi.

Kesempatan ini kita bisa peroleh karena hingga saat ini negara Timor Leste belum melegalkan organisasi bela diri PSHT. Ribuan anggota PSHT yang menyebar di berbagai distrik negara Timor Leste hampir setiap enam bulan sekali menyusuri jalan tikus masuk wilayah NKRI hanya demi pengukuhan dan kenaikan sabuk tingkat. 

Dengan sedikit fulus mereka main mata di pinggir-pinggir kali dan hutan dengan petugas perbatasan negara hanya demi selangkah kaki masuk wilayah NKRI. Miris memang miris praktik di perbatasan, tapi apa mau dikata kebijakan yang diterapkan masih kaku dan statis yang membuat mereka harus berteriak minta tolong pada petugas di lapangan. Itu yang pertama. Yang kedua, kedatangan kelompok ini melalui jalur tikus bisa membawa malapetaka bagi bangsa Indonesia.

Praktek-praktek illegal bisa saja terjadi dihutan sana. Misalnya narkotika dan obat-obatan terlarang, tak ada yang tahu. Bisa saja Timor Leste menjadi distributor semu narkoba ke Indonesia. Masa depan generasi muda kitapun akan rusak. Sendi-sendi kekuatan bangsa akan memudar.

Demikianpun masalah persenjataan, yang kian lama, kian menjadi bom waktu bagi bangsa kita. Jual beli senjata api bisa saja terjadi dan lambat laun warga diperbatasan memilki senjata api yang kelak dijadikan alat untuk melakukan tindak pidana serta kejahatan lainnya. Bisa pula akan dimiliki oleh warga eks pengungsi yang eksodus ke Indonesia tahun 1999 untuk nantinya akan melakukan balas dendam terhadap saudaranya di Timor Leste.

Demikianpun masalah jual beli ranmor tanpa dokumen yang lengkap dan atau palsu, yang memicu tingginya angka pencurian kendaraan di Indonesia khususnya keempat wilayah kabupaten yang berbatasan langsung.
Praktek-praktek illegal ini bila tidak segera dicermati dengan bijak oleh pemerintahan kita, akan menjadi problem bangsa di masa datang.

Kehidupan warga negara Indonesia di perbatasan akan menjadi tak tenang dan akan mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Belum lagi masalah perbatasan yang belum kelar hingga hari ini. Saling klaim wilayah Naktuka antara warga Kecamatan Amfoang Timur Kabupaten Kupang dengan warga Distrik Oecusse, Timor Leste berpotensi akan menjadi lahan berdarah tiga atau empat tahun kedepan.

Melihat celah sempit pencetus masalah ini alangkah baiknya kita berbenah dari titik ini. Pemangku kepentingan sudah saatnya duduk bersama memecahkan problematika yang ada. Rangkul pemerintahan negara Timor Leste terapkan kebijakan bersama masalah perbatasan yang kian hari kian menjadi momok bersama.

Halaman:

Editor: Tommy Aquino


Terkini