KESETIAAN SUAMI ISTRI

- 3 Oktober 2021, 06:45 WIB
P. Stef. Buyung Florianus, O.Carm.
P. Stef. Buyung Florianus, O.Carm. /

Bacaan KS: Kej 2:18-24; Ibr 2:9-11; Mrk 10:2-16

Oleh: P. Stef. Buyung Florianus, O.Carm.

“Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, janganlah diceraikan manusia.” (Mrk 10:9). Permintaan Yesus ini gampang-gampang susah.

Gampang ketika semuanya serba beres. Susah kalau hidup bersama sebagai istri tidak bisa dijalankan.

Permintaan Yesus itu bermula dari kedatangan orang-orang Farisi. Mereka mau mencobai Dia dengan mengajukan sebuah pertanyaan. Apakah seorang suami diperkenankan menceraikan istrinya?

Nampaknya hidup sebagai suami istri pada suatu saat bisa mengalami persoalan yang amat pelik. Relasi suami istri berada pada situasi dramatis. Hidup bersama sebagai suami istri sulit dilanjutkan.

Tentu pertanyaan itu tidak adil. Betapa sakitnya ibu-ibu? Bagaimana istri-istri zaman sekarang merasakannya?

Memang pertanyaan tersebut muncul ketika dominasi pria lebih kuat. Apalagi dalam budaya patriarkal, kedudukan istri menjadi nomor dua. Suamilah yang berkuasa atas istrinya.

Namun Tuhan Yesus tidak langsung menjawab pertanyaan mereka. Dia malahan balik bertanya.

Dari jawaban yang diberikan, Yesus menegaskan jawaban-Nya. Orang-orang Farisi menjawab bahwa perceraian itu diizinkan Musa. Syaratnya pun sederhana, yaitu memberikan surat cerai.

Dari jawaban itulah, Yesus lalu mengkritisi mereka. Hanya karena ketegaran hati umat Israellah, peceraian itu diperkenankan Musa.

Sesungguhnya sejak awal, Tuhan menciptakan pria dan wanita. Mereka dikehendaki Tuhan untuk hidup bersama dalam perkawinan. Mereka menjadi satu daging.

Mereka memang dua pribadi. Namun melalui perkawinan, Tuhan menghendaki supaya mereka menjadi satu. Mereka harus menjadi dua orang yang sepikiran, seperasaan dan sekehendak.

Itulah sebabnya, apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia dengan alasan apapun. Kendati hidup bersama itu tidak dapat diteruskan lagi.

Para murid terkejut mendengar jawaban Yesus. Mereka meminta penjelasan lebih lanjut setelah tiba di rumah. Dan Yesus tidak menarik kembali kata-kata-Nya.

Yesus justru menegaskan bahwa perzinahan terjadi bila suami atau istri menceraikan pasangannya lalu menikah dengan wanita atau pria lain. Suami istri yang hidup di luar perkawinan yang sah justru hidup dalam perzinahan (bdk. Mrk 10:11-12).

Suami istri semestinya hidup dalam kesetiaan serta persatuan selamanya sampai mati. Masing-masing harus setia dengan pasangannya seumur hidup.

Setelah menegaskan pengajarannya tentang kesetiaan, Yesus justru mengundang kita untuk belajar dari anak kecil.

Anak kecil adalah model kepercayaan penuh. Hanya dengan kepercayaan seperti anak kecil itulah memungkinkan bagi suami istri untuk setia satu sama lain.

Hanya mereka yang terbuka hatinya dan sederhana hidupnya seperti anak kecil bisa membangun keluarga yang langgeng. Merekalah yang empunya Kerajaan Allah (bdk. Mrk 10:14-15).

Suami istri harus masuk ke dalam realitas diri mereka sendiri apa adanya. Mereka harus menerima, di satu sisi kelemahan manusiawi mereka dan di sisi lain kekuatan Allah.

Allah sendiri akan bekerja sehingga mereka bisa setia satu sama lain. Tuhan sendiri menunjukkan kuasa-Nya sehingga keluarga mereka bisa bertahan.

Marilah kita berdoa semoga keluarga-keluarga Kristiani tetap bertahan. Semoga rumah tangga mereka langgeng. Semoga suami istri menyadari bahwa mereka dipanggil untuk membangun cinta dan bukan sekedar menikmati cinta.

Dengan bantuan rahmat Tuhan, kesetiaan suami istri bisa tetap dipertahankan.***

Editor: Tommy Aquino

Sumber: Warta Sasando


Tags

Terkini