Komuni Kudus Bagi Umat yang Bercerai dan Menikah Lagi

21 Maret 2022, 13:57 WIB
Pater Doddy Sasi, CMF /FB Doddy Sasi/

WARTA SASANDO - Sudah beberapa kali saya ditanya dengan substansi pertanyaan yang sama: "Dapatkah seseorang yang sudah bercerai lalu menikah lagi, bisa menerima Komuni kudus?"

Ada beberapa rujukkan ajaran Gereja yang bisa membantu kita menjawab pertanyaan ini, misalnya Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (1981) dari Santo Yohanes Paulus II dan Seruan Apostolik Pascasinode Amoris Laetitia (2016) dari Paus Fransiskus. 

Familiaris Consortio

Pada bagian FC. art. 84 yang membahas soal "mereka yang bercerai dan menikah lagi" dapat kita temukan satu penggalan paragraf yang cukup menarik: "Akan tetapi Gereja menegaskan lagi praktiknya, yang berdasarkan Kitab suci untuk tidak mengizinkan mereka bercerai, kemudian menikah lagi, menyambut Ekaristi suci.

Baca Juga: Selamat Jalan Pater Kurt Bard, SVD - Kenangan yang Sulit Terlupakan

Mereka tidak dapat diizinkan, karena status dan kondisi hidup mereka berlawanan dengan persatuan cinta kasih antara Kristus dan Gereja, yang dilambangkan oleh Ekaristi dan merupakan buahnya. Selain itu masih ada alasan pastoral khusus lainnya.

Seandainya mereka diperbolehkan menyambut Ekaristi, umat beriman akan terbawa dalam keadaan sesat dan bingung mengenai ajaran Gereja, bahwa pernikahan tidak dapat diceraikan".

Lanjut FC masih pada nomor yang sama: Pendamaian melalui sakramen Tobat, yang membuka pintu kepada Ekaristis, hanya dapat diberikan kepada mereka yang menyesalkan bahwa mereka telah menyalahi lambang perjanjian dan kesetiaan terhadap Kristus, dan setulus hati bersedia menempuh jalan hidup, yang tidak bertentangan lagi dengan tidak terceraikannya pernikahan.

Dalam praktiknya itu berarti, bahwa bila karena alasan-alasan serius, misalnya pendidikan anak-anak, pria dan wanita tidak tapat memenuhi kewajiban untuk berpisah, mereka "sanggup menerima kewajiban untuk hidup dalam pengendalian diri sepenuhnya artinya dengan berpantang dari tindakan-tindakan yang khas bagi suami-istri".

Dari pernyatan FC 84 di atas, ada beberapa hal yang bisa kita tarik keluar. Pertama, bahwa pada pasangan suami istri yang perkawinannya sudah sah secara Katolik, namun bercerai dan Menikah lagi atau hidup bersama dengan orang lain tanpa ikatan perkawinan yang sah, Gereja tidak dapat memberikan Komuni kudus.

Baca Juga: Perempuan Itu Bernama “Veronika”

Kedua, ada pengecualian bahwa Komuni kudus dapat diberikan kepada pasangan, jika mereka bertobat, dan dengan tulus, tidak melakukan hubungan suami istri. Dengan kata lain, ada kebaruan yang dihadirkan oleh dokumen Familiaris Consortio di sini yakni kemungkinan mengakses sakramen Tobat dan Ekaristi bagi pasangan suami istri.

Amoris Laetitia

Pada dokumen Amoris Laetitia Bab VIII yang tampil dengan judul "mendampingi, menegaskan dan mengintegrasikan kelemahan" dapat pula dijumpai pembahasan sehubungan dengan kemungkinan akses ke sakramen-sakramen "orang yang bercerai yang kemudian menjalani kehidupan baru". 

Ada satu kutipan menarik dari AL art. 305: "...Karena faktor-faktor yang mengondisikan dan meringankan, dimungkinkanlah bahwa di dalam suatu situasi objektif dosa -yang mungkin tidak bebas secara subjektif, atau sepenuhnya bersalah- seseorang dapat hidup dalam rahmat Allah, dapat mencintai dan dapat juga tumbuh, dalam hidup yang penuh rahmat dan amal kasih, dengan menerima bantuan Gereja untuk tujuan ini. Penegasan harus membantu menemukan cara yang mungkin untuk menanggapi Allah dan bertumbuh di tengah-tengah keterbatasan...".

Penegasan di atas dilengkapi lagi dengan catatan kaki nomor 351 dari Amoris Laetitia yang berbunyi: “Dalam kasus-kasus tertentu, hal ini dapat mencakup bantuan sakramen-sakramen. Karena itu, "Saya mengingatkan para imam bahwa tempat pengakuan penuh dosa bukanlah ruang penyiksaan, melainkan suatu perjumpaan dengan belas kasih Allah".

Saya juga ingin menunjukkan bahwa Ekaristi "bukanlah sebuah hadiah bagi orang-orang sempurna, melainkan suatu obat penuh daya dan santapan bagi yang lemah".

Kebaruan dari Amoris Laetitia terletak pada luasnya penerapan dengan prinsip yang bertahap (yang sebenarnya sudah ada pada Familiaris Consortio), dalam penegasan spiritual dan pastoral dari tiap-tiap kasus.

Lebih lanjut Kardinal Francesco Coccopalmerio dalam bukunya "Il capitolo ottavo dell'Esortazione Post Sinodale Amoris Laetitia" (Bab VIII dari Seruan Apostolik Postsinodale Amoris Laetitia) menjelaskan bahwa "dalam kasus-kasus tertentu" bantuan Gereja untuk mereka yang disebut pasangan "tidak teratur" untuk bertumbuh dalam rahmat "bisa" juga berarti menerima "bantuan sakramen" dengan tanpa menempatkan pantangan hubungan seksual sebagai kewajiban yang mutlak.

Baca Juga: Hanya Debulah Aku di Alas Kaki-Mu, Tuhan

Sebuah interpretasi otoritatif yang bisa dibilang mengatasi banyak kebingungan, keraguan dan kritik yang muncul pada tubuh Gereja saat itu dan kini terlebih dalam kaitan dengan doktrin dan pelayanan pastoral. Untuk diketahui pula bahwa saat bukunya diterbitkan pada tahun 2017, Kardinal F. Coccopalmerio masih menjabat sebagai Presiden Dewan Kepausan Untuk Teks-Teks Legislatif.

Menutup ulasan singkat ini, saya mengutip dua pertanyaan dari Kardinal F. Coccopalmerio: «Jika Paus saja tidak mengabaikan mereka yang melakukan kesalahan, apakah sikap saya ini merugikan doktrin? Dengan menerima pendosa, apakah saya membenarkan perilakunya dan mengingkari doktrin?». 

Kita bisa jawab masing-masing dalam hati.  Akhirnya, pertanyaan yang sering muncul dan mempertentangkan antara doktrin dan pelayanan pastoral sebenarnya adalah sebuah pertanyaan kuno yang kadang "tidak mengenal alternatif, tetapi hanya integrasi yang harmonis di antara keduanya".***

Artikel ini ditulis oleh P. Doddy Sasi, CMF, Missionaris Claretian dan Anggota Komunitas luridicum Roma.

Editor: Tommy Aquino

Tags

Terkini

Terpopuler