PSHT, Masalah Perbatasan dan Sorotan Budaya Bangsa

17 September 2021, 11:58 WIB
Simeon Sion /Foto Istimewa

 

Kompas.com edisi Jumat tanggal 27 Agustus 2021 lalu memberitakan tentang adanya 705 Warga Negara Asing (WNA) Timor Leste yang dideportase pemerintah negara Republik Indonesia melalui Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain, Kebupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dari jumlah ini penyumbang terbesar adalah kelompok WNA anggota Perguruan Pencak Silat Persaudaraan Setia Hati Teratai (PSHT). WNA ini dideprotasi terkait ketidaklengkapan administrasi kedatangan mereka dalam wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia.

Awal mula kehadiran WNA ini terendus warga setelah mereka melakukan latihan bersama dalam rangka kenaikan sabuk tingkat dan pengukuhan keanggotaan yang baru Perguruan Silat PSHT. Selain ditangkap kelompok ini diultimatum pihak Kodim 1605 Atambua untuk menyerahkan diri dan dideportase ke negara asalnya Timor Leste.

Terkait pemberitaan ini, tak sedikit warga merasa resah terutama di wilayah-wilayah atau kantong-kantong anggota perguruan karena kerap kelompok ini diserang kelompok bela diri lain yang akhirnya akan menimbulkan konflik komunal yang mengakibatkan korban jiwa dan materi.

Merunut peristiwa yang terjadi di atas, di benak kita pasti menimbulkan pertanyaan, bilamanakah kelompok ini bisa menginjakkan kakinya di bumi Indonesia?

Secara geografis, negara Democratic Timor Leste berbatasan langsung dengan negara kita. Empat kabupaten; Malaka, Belu, Kupang dan Timor Tengah Utara adalah wilayah terluar Indonesia yang bisa dijangkau hanya dengan selangkah kaki saja.

Kesamaan suku dan ras, agama serta bahasa menjadi penyamar perbedaan warga dari kedua kelompok tersebut. Hal ini tentu membuat sedikit kesulitan bagi aparat keamanan untuk membedakan kelompok warga negara asing asal Timor Leste dengan warga lokal yang berdomisili pada keempat kabupaten di atas. Belum lagi saudara-saudara mereka yang sudah menjadi warga negara Indonesia sejak kekalahan referendum 1999.

Perbauran inilah yang sedikit mengikat tali silahturahmi sehingga warga negara asing asal Timor Leste bebas masuk ke wilayah Indonesia tanpa hambatan.

Perlukah kita menyikapi kondisi ini?

Bila secara bijak menganalisa problematika ini, ada sisi keberuntungan yang bisa diambil. Sebut saja untuk pemasukan negara dari sektor pajak. Kedatangan warga asing asal Timor Leste ke wilayah NKRI bila dikelola dengan baik akan memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia. Kebijakan visa on arrival di perbatasan kedua negara bukan memberikan sedikit income bagi bangsa.

Perguruan Silat PSHT menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa. Olahraga bela diri pencak silat yang sejatinya milik Indonesia dan sudah masuk dalam Daftar Representatif Warisan Budaya Takbenda untuk Kemanusiaan oleh United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) tanggal 12 Desember 2019 tinggal dikelolah menjadi budaya yang bisa dilestarikan dan ditempatkan pada level pemanfaatan yang memberikan kontribusi dalam pembangunan bangsa.

PSHT sebagai bagian dari bela diri pencak silat sudah saatnya diperhatikan. Organisasi bela diri yang sudah berumur 99 tahun ini seolah-olah dianaktirikan dari organisasi bela diri lainnya yang berkembang di Indonesia. PSHT belum sepenuhnya diakui, meski legalitas organisasi sudah perlahan diurus. Kelompok ini sering diserang dan diajak beradu nyali oleh kelompok bela diri lainnya sehingga menimbulkan korban jiwa dan materi.

Kesempatan ini kita bisa peroleh karena hingga saat ini negara Timor Leste belum melegalkan organisasi bela diri PSHT. Ribuan anggota PSHT yang menyebar di berbagai distrik negara Timor Leste hampir setiap enam bulan sekali menyusuri jalan tikus masuk wilayah NKRI hanya demi pengukuhan dan kenaikan sabuk tingkat. 

Dengan sedikit fulus mereka main mata di pinggir-pinggir kali dan hutan dengan petugas perbatasan negara hanya demi selangkah kaki masuk wilayah NKRI. Miris memang miris praktik di perbatasan, tapi apa mau dikata kebijakan yang diterapkan masih kaku dan statis yang membuat mereka harus berteriak minta tolong pada petugas di lapangan. Itu yang pertama. Yang kedua, kedatangan kelompok ini melalui jalur tikus bisa membawa malapetaka bagi bangsa Indonesia.

Praktek-praktek illegal bisa saja terjadi dihutan sana. Misalnya narkotika dan obat-obatan terlarang, tak ada yang tahu. Bisa saja Timor Leste menjadi distributor semu narkoba ke Indonesia. Masa depan generasi muda kitapun akan rusak. Sendi-sendi kekuatan bangsa akan memudar.

Demikianpun masalah persenjataan, yang kian lama, kian menjadi bom waktu bagi bangsa kita. Jual beli senjata api bisa saja terjadi dan lambat laun warga diperbatasan memilki senjata api yang kelak dijadikan alat untuk melakukan tindak pidana serta kejahatan lainnya. Bisa pula akan dimiliki oleh warga eks pengungsi yang eksodus ke Indonesia tahun 1999 untuk nantinya akan melakukan balas dendam terhadap saudaranya di Timor Leste.

Demikianpun masalah jual beli ranmor tanpa dokumen yang lengkap dan atau palsu, yang memicu tingginya angka pencurian kendaraan di Indonesia khususnya keempat wilayah kabupaten yang berbatasan langsung.
Praktek-praktek illegal ini bila tidak segera dicermati dengan bijak oleh pemerintahan kita, akan menjadi problem bangsa di masa datang.

Kehidupan warga negara Indonesia di perbatasan akan menjadi tak tenang dan akan mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Belum lagi masalah perbatasan yang belum kelar hingga hari ini. Saling klaim wilayah Naktuka antara warga Kecamatan Amfoang Timur Kabupaten Kupang dengan warga Distrik Oecusse, Timor Leste berpotensi akan menjadi lahan berdarah tiga atau empat tahun kedepan.

Melihat celah sempit pencetus masalah ini alangkah baiknya kita berbenah dari titik ini. Pemangku kepentingan sudah saatnya duduk bersama memecahkan problematika yang ada. Rangkul pemerintahan negara Timor Leste terapkan kebijakan bersama masalah perbatasan yang kian hari kian menjadi momok bersama.

Benahi manajemen perbatasan mulai dari visa, bea cukai, masalah ranmor, narkoba dan persenjataan serta perlintasan warga kedua negara. Petik Kembali warisan sejarah yang pernah ada, yang pernah mempersatukan kita dulu untuk membuka jalan buntu yang saat ini menjadi carut marut di perbatasan. Niscaya dengan langkah ini, masalah perbatasan akan memberikan keuntungan bagi kedua negara. Aman negaranya, sejahtera masyarakatnya.

Wassalam.

Oleh: Simeon Sion

Anggota Polres Kupang, Polda NTT

Editor: Tommy Aquino

Terkini

Terpopuler