Benarkah Kesabaran itu Ada Batasnya? -satu permenungan-

- 17 Juli 2022, 18:01 WIB
P.Kons Beo,SVD
P.Kons Beo,SVD /
 
 
Untuk mendapatkan apa yang kamu suka, pertama-tama kamu harus sabar dengan apa yang kamu benci”
(Imam Al Ghazali, filsuf-teolog muslim, Iran, 1058 – 1111)
 
 
P. Kons Beo, SVD
 
Dunia Kita yang Gesit
 
Dunia kini terciri oleh alam motorik yang kental. Gesit, cekatan serta lincah adalah gambaran aksi-reaksi yang tangkas. Manusia hidup dalam dunia pengalaman yang serba tanggap. Ia adalah protagonista dari aneka peristiwa. Tetapi juga pada saat yang sama manusia adalah insan yang reaktif.  Ia mesti memberi makna pada  segala yang ada di sekelilingnya sebagai jawabannya. 
 
Hidup itu tak ubah bagai deretan jawaban reaktif atas  segala pertanyaan yang terbentang. Tetapi, mestikah ada jawaban yang  terungkapkan? Haruskah satu reaksi diberikan sebagai tanggapannya? Pada titik ini, faktor kesabaran mendapat maknanya. 
 
Dalam situasi dan keadaan macam apakah kesabaran menemukan maknanya? Teramat mudah bahwa seruan ‘bersabarlah’ itu dialamatkan kepada orang lain. Semacam satu nasihat saleh yang ditujukan kepada siapapun. Sebaliknya, tak gampang untuk ‘tertibkan diri sendiri’ agar sungguh masuk dalam koridor kesabaran sebagai satu nilai (virtus). 
 
 
Lebih Cepat Lebih Baik?
 
Dalam teropong kesabaran, nampaknya dunia terobsesi oleh dua kutub berseberangan.  Antara “lebih cepat lebih baik dan orang sabar dikasihi Tuhan.” Bila dikaitkan dengan situasi darurat, maka lebih cepat dianggap baik demi sebuah tindakan penyelamatan. Atau setidaknya agar tidak lebih menimbulkan akibat yang lebih buruk atau berdampak masif.
 
Tetapi, lebih cepat tak selamanya berujung lebih baik. Sebab lebih cepat telah ditafsir sebaliknya sebagai kehilangan kesabaran sebagai satu kebajikan. Aksi lebih cepat hanya ciptakan suasana hura-hara. Sebab di situ atensi, ketelatenan atau ketelitian menjadi kabur. Akibatnya hanyalah suasana gaduh yang tercipta. Dan tanpa hasil yang meyakinkan. Jelas dan terang.
 
Kesabaran sebagai satu nilai (virtus) mesti dilihat secara benar dan sehat. Bukankah agama-agama ajarkan kesabaran sebagai nilai yang mesti dijunjung? Dalam tatanan psikologi, sebagaimana ditandaskan Subhan El Hafiz “kesabaran adalah kemampuan untuk menahan emosi, pikiran, perkataan dan perilaku” (2017). Semua hal ini bermuara pada aura atau alam positif sebagai akibatnya.
 
 
Petaka di balik Ketidaksabaran
 
Sebaliknya, bukankah gagal dalam menahan emosi, suram dan pekatnya aneka pikiran sana sini serta tak tertib dalam kata dan sikap akan berujung pada petaka? Ambil saja contoh konkrit. ‘Ribut dalam keluarga (besar) atau baku ambil kata antar tetangga bersebelahan rumah itu tidakkah terkadang disebabkan oleh ketidaksabaran dalam kontrol emosi serta tidak tertib dalam menahan mulut untuk saling terjang dalam aksi kata-rata?
 
Dunia bentangkan banyak hal yang mengandung umpan. Mawas diri dalam arti kesabaran sering bukanlah hal yang mudah. Sepertinya manusia berada antara dua alam kontras. Antara laku tapa (metanoya), yang tegaskan pengendalian diri dan alam stimulus yang sungguh menarik dan memikat. Tetapi, kesabaran sebagai kebajikan melatih manusia demi satu kedisiplinan hidup.
 
 
Distorsi Kesabaran
 
Bagaimanapun, tidak semua  ‘sikap tahan diri’ disebut sebagai perilaku sabar dalam tatanan nilai. Sabar demi menanti saat yang tepat untuk mempermalukan, melecehkan atau merugikan orang lain tentu tidak disebut sebagai perilaku sabar. Herodias, dalam kisah Injil, sama sekali tidak disebut ‘memiliki sikap sabar’ dalam arti nilai. Ia hanya secara licik manfaatkan momentum untuk sebuah sikap balas dendam terhadap Yohanes Pembaptis (cf Mat 14:6-10).
 
Maka, lihatlah! Deformasi nilai kesabaran sungguh jamak terjadi. Bahkan tertimbun pula dalam alam bawah sadar. Orang menjadi nampak tahan diri, berlaku seolah-olah sabar, yang sesungguhnya ia belum temukan momentum yang pas untuk lampiaskan amarah plus balas dendamnya. Bukan kah sering terdengar ucapan “Selama ini saya terlalu sabar.” Dan pada waktunya amarah dan dendam memuncak. Dan terlahirlah kekerasan.
 
 
Kesabaran dan Proses
 
Kesabaran memang tak hanya sebatas jalur tahan diri antara aksi dan reaksi. Tetapi bahwa terdapat apa disebut sebagai kepatuhan pada proses yang semestinya. Institusi Keamanan sering dituntut untuk ‘aksi gerak cepat dan cepat tanggap’ demi keamanan. Namun, tentu perlu kesabaran yang benar dalam proses demi hasil yang mumpungi. 
  
Dalam  rana praksi keseharian sekian nyata bahwa ‘jalan pintas dan lompat pagar’ sebagai anti kesabaran sungguh memotong ‘jalan tol penuh kesabaran dan perjuangan.’ Korupsi lahir dari perilaku penuh ketamakan dan demi kaya mendadak sebagai anti kesabaran terhadap proses dan kerjakeras. Ambil contoh lain lagi. Buah-buah yang nampak segar, terpajang di supermarket, bisa dicurigai sebagai ‘buah yang dipaksa matang dan masak.’ Ini akibat dari sebuah perilaku melawan proses alami. Kita sebenarnya dinutrisi oleh sekian banyak proses tak sabaran! Karbitan dan prematur. 
 
 
Kesabaran: Ironia Politik?
 
Jika berakrobat ke rana politik, misalnya, paham radikal bisa membelenggu penganutnya dalam rantai ketidaksabaran. Semua diyakininya telah dirumuskan jelas dan pasti. Mesti digapai secepatnya dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebab itu dalam kenyataan bahwa apapun dan siapapun yang ternilai ‘kontra paham radikal’ mesti ditaklukkan dengan cara apapun. 
 
Di contoh lain lagi, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di tahun 2024 telah disikapi dengan berbagai manuver. Riak-riak politik tampak tak terbendung. Strategi politik tentu tak hanya terbatas pada ‘pamer-pamer diri’ sebagai pencitraan. Glorifikasi kandidat oleh para pengusung adalah biasa. Sebaliknya pencederaan terhadap kompetitor (pesaing) pun dianggap wajar. 
 
Namun, gairah untuk tampil sebagai pemenang dan berkuasa sering mudah terbaca dalam psikologi kesabaran. Hasrat berkuasa yang menggebu-nggebu sering ditikungi oleh aksi-aksi ekspresi tak sabaran untuk menanti hingga 2024. Memilih ribut dan onar di jalanan dengan tuntutan iregulatif dirasa ‘lebih heroik’ ketimbang menanti penuh sabar hingga waktunya mengantri di depan TPS.
 
 
Kesabaran: Bermakna Luas
 
Tetapi, mari kembali kepada kesabaran sebagai satu kebajikan moral. Agama apapun mengajarkan kesabaran itu sebagai nilai. Sebab itu, kesabaran mesti menjadi baik dan berguna demi kehidupan manusia semesta. Tidak sekedar asal tahan diri yang pasif, tetapi bahwa tahan diri itu sungguh bermakna integral – holistrik. Manusia beriman sanggup bersabar dan tahan diri demi konsekwensi positif yang lebih luas dan umum. 
 
Tentu tak dilupakan bahwa kesabaran tak hanya diteropong dalam tatanan psikologi atau dalam bingkai moral. Dalam kehidupan konkrit kesabaran mesti tampil sebagai primadona dari satu kearifan yang terpancar dari keluhuran budi pekerti dan kecemeralangan hati nurani.
 
 
Kata Akhir
 
“Anda benar, dan memang Anda benar. Tak terbantahkan! Tetapi Anda mesti berani kalahkan diri sendiri. Tetap rendah hati dan bersabar. Demi tidak timbulkan akibat yang lebih buruk dan mengerikan bagi publik. Kebenaran tetap jadi milik Anda. Tetapi kehidupan itu milik semua orang,” itulah kata sibijak.
 
Kita memang mesti berani untuk disalibkan atas nama kesabaran dan kerendahan hati. Demi kehidupan sekian banyak orang. Ketimbangkan harus menyalibkan sekian banyak orang akibat dari ketidaksabaran dan keangkuhan diri kita sendiri. Maka, bertarunglah untuk yakin bahwa kesabaran itu tidak ada batasnya! Sekali jadi orang sabar, tetaplah jadi orang yang berkesabaran. Sebab kita tetap miliki harapan…
 
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro - Roma
 
 
 
    
 
 

Editor: Alex Raja S


Terkini

x